Cinta Lintas Budaya dalam Film Menuju Pelaminan, Romansa Modern yang Menyentuh Hati

0
0
Sumber: Instagram/menujupelaminan_

Apa jadinya jika cinta harus melintasi batas budaya dan tradisi keluarga? Itulah yang dihadirkan lewat film terbaru produksi PT Produksi Film Negara (Persero) atau PFN, berjudul Menuju Pelaminan. Mengambil latar Yogyakarta hingga Padang, film drama komedi romantis ini menampilkan kisah cinta yang manis sekaligus menegangkan, lengkap dengan keindahan budaya Indonesia yang jarang terlihat di layar lebar.

Disutradarai oleh Yuda Kurniawan, yang sebelumnya dikenal lewat dokumenter puitis Nyanyian Akar Rumput, film ini menjadi ajang pembuktian Yuda dalam menyutradarai karya fiksi. Dengan sentuhan khasnya yang peka pada isu sosial, Yuda menyajikan cerita keluarga yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi dibalut dalam komedi romantis yang ringan dan menghibur.

Menuju Pelaminan adalah film keluarga, tapi juga film perjalanan spiritual dalam arti memahami diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai”, ujar Yuda dalam sesi konferensi pers PFN. Sentuhan khas Yuda tetap terasa: realisme, empati pada karakter, dan perhatian pada isu sosial yang membumi. Tapi kali ini, semuanya dikemas dengan cara yang lebih manis dan menghibur.

Cerita Menuju Pelaminan berpusat pada Fajar (diperankan oleh Bhisma Mulia) dan Rahma (Maizura), pasangan muda yang siap mengikat janji suci. Keduanya tampak sempurna sampai urusan keluarga ikut campur. Fajar adalah pria Jawa yang tenang, sistematis, dan percaya semua bisa direncanakan. Sementara Rahma, perempuan Minang yang hangat dan spontan, tumbuh dalam keluarga matrilineal yang kuat memegang adat.

Ketika dua tradisi besar ini bertemu di meja pernikahan, yang terjadi bukan sekadar perbedaan selera dekorasi, tapi benturan nilai yang dalam: siapa yang “mengundang”, siapa yang “menjemput”, bahkan urusan mahar pun jadi medan negosiasi. Situasi semakin rumit saat kakek Fajar bersikeras ikut menghadiri akad nikah di Padang. Demi menepati janji itu, keluarga mereka pun melakukan perjalanan darat sejauh 1.859 kilometer dari Jogja ke Padang menggunakan van tua yang lebih cocok untuk nostalgia ketimbang perjalanan jauh.

Apa yang awalnya direncanakan dua hari berubah jadi road trip empat hari penuh drama, tawa, dan air mata. Di tengah jalan, Fajar dan Rahma belajar satu hal penting: cinta tidak selalu cukup. Terkadang, yang dibutuhkan adalah kesabaran, kompromi, dan keberanian untuk mendengarkan.

Sumber: Instagram/menujupelaminan_

Lebih dari sekadar kisah romantis, Menuju Pelaminan adalah perayaan kekayaan budaya Indonesia. Penonton akan dimanjakan dengan visual adat pernikahan Jawa dan Minang yang megah, lengkap dengan busana tradisional, prosesi adat, dan dialog penuh filosofi lokal. Film ini seperti membuka album foto besar tentang Indonesia dari sawah di Bantul hingga pesisir Padang Pariaman.

Bagi Yuda Kurniawan, film ini juga menjadi bentuk penghormatan terhadap keberagaman Indonesia. “Saya ingin menunjukkan bahwa perbedaan budaya bukanlah jurang, tapi jembatan. Dan jembatan itu bisa dibangun lewat cinta dan komunikasi”, katanya.

Satu hal yang membuat film ini menonjol adalah keberanian PFN dan tim untuk menggunakan teknologi virtual production dari V2 Indonesia sebuah pendekatan modern yang memungkinkan perpaduan antara realitas dan imajinasi di layar lebar. Biasanya, teknologi ini lebih sering digunakan dalam film aksi atau fantasi. Tapi kali ini, Menuju Pelaminan membuktikan bahwa komedi romantis pun bisa tampil megah secara visual tanpa kehilangan kehangatan naratifnya.

“Virtual production kami gunakan untuk memperkuat pengalaman visual, tapi tanpa mengorbankan rasa lokal yang jadi jiwa filmnya”, ujar Dirana Sofiah, Project Leader Indonesia Film Financing (IFF) PFN sekaligus produser film ini. Teknologi ini juga memudahkan pengambilan gambar lintas lokasi tanpa menghabiskan biaya besar. Jadi meskipun tampak seperti perjalanan panjang antarkota, sebagian besar adegan diambil di satu lokasi studio dengan proyeksi latar realistis.

Menuju Pelaminan bukan hanya lintas budaya di cerita, tapi juga lintas negara di balik layar. Film ini merupakan hasil kerja sama antara PFN, Rekam Films, serta dua mitra internasional dari Singapura, Little Green White dan One Light Holdings. Proyek ini lahir dari program Indonesia Film Financing (IFF) milik PFN, yang menyeleksi lebih dari 100 proposal sebelum akhirnya memilih Menuju Pelaminan sebagai salah satu proyek unggulan 2025.

Tujuan PFN sederhana tapi ambisius: menghadirkan film Indonesia berkelas dunia tanpa kehilangan identitas lokal. “Kami ingin film ini berbicara secara universal, tapi tetap berakar pada nilai-nilai budaya Indonesia”, kata Dirana Sofiah.

Proses produksi film ini dimulai sejak November 2024. Setelah melalui perjalanan panjang, Menuju Pelaminan siap hadir di bioskop seluruh Indonesia mulai 16 Oktober 2025.

Selain Bhisma Mulia dan Maizura yang memancarkan chemistry natural, film ini juga diperkuat oleh jajaran aktor kawakan: Cut Mini, Derry Oktami, Whani Darmawan, Brilliana Arfira, Bambang Ghundul, Dyah Mulani, Susilo Nugroho, M.N. Qomarrudin, dan Joanna Dyah.

Kehadiran mereka menjadikan film ini hidup dan penuh tekstur seperti nasi padang dengan lauk lengkap: pedas, gurih, dan mengenyangkan. Cut Mini memerankan ibu Fajar, seorang perempuan Jawa yang ingin menjaga martabat keluarganya tanpa terlihat dominan. Sementara Derry Oktami tampil sebagai ayah Rahma yang keras kepala tapi berhati lembut.

Kombinasi karakter-karakter ini menciptakan interaksi keluarga yang hangat, lucu, dan sering kali terasa “kok kayak keluarga sendiri, ya?”

Road trip dalam film ini bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah metafora perjalanan batin tentang bagaimana cinta tumbuh bukan dari kesempurnaan, tapi dari kekacauan yang akhirnya disadari sebagai bentuk kasih.

Di sepanjang perjalanan Jogja–Padang, setiap karakter punya momen refleksi: tentang ego, restu, dan makna keluarga. Dari pertengkaran kecil di mobil hingga nyanyi bareng di tengah macet, semua adegan terasa akrab dan nyata.

Sumber: Instagram/menujupelaminan_

Yuda Kurniawan memadukan komedi situasional dengan drama keluarga yang lembut, menghasilkan film yang bisa membuat penonton tertawa keras di satu adegan dan meneteskan air mata di adegan berikutnya.

Di tengah kemeriahan film romantis yang sering kali terasa seragam, Menuju Pelaminan membawa napas baru dengan keberaniannya membahas isu identitas budaya. Fajar dan Rahma adalah representasi pasangan modern Indonesia melek teknologi, berpikiran terbuka, tapi masih harus berdamai dengan ekspektasi keluarga dan adat.

Film ini mengingatkan kita bahwa pernikahan bukan hanya tentang dua orang yang saling mencintai, tetapi juga tentang dua keluarga yang harus belajar saling menghargai. Dengan gaya bercerita yang ringan, film ini mengajak penonton untuk merenung tanpa merasa digurui. “Cinta lintas budaya itu bukan perjuangan melawan tradisi, tapi menemukan cara baru untuk memeluknya”, begitu kira-kira pesan yang terasa di akhir film.

Secara visual, Menuju Pelaminan menonjolkan kontras dua dunia: hijau lembut pedesaan Jawa dan biru terang pesisir Sumatera Barat. Sinematografinya digarap dengan tone hangat, membuat setiap adegan terasa seperti kartu pos dari perjalanan hidup.

Musiknya, yang digubah oleh komposer muda Fadil Ichsan, memadukan unsur gamelan dan saluang Minang dalam nuansa pop modern. Hasilnya, soundtrack film ini punya kemungkinan besar jadi hits tersendiri apalagi jika dikombinasikan dengan suara lembut Maizura.

Sebagai BUMN film tertua di Indonesia, PFN kini memasuki era baru. Lewat proyek seperti Menuju Pelaminan, PFN tidak hanya memproduksi film, tapi juga menjadi fasilitator pembiayaan dan inovasi teknologi.

Program Indonesia Film Financing (IFF) adalah upaya nyata PFN untuk membantu sineas lokal membuat film berstandar internasional, sambil memperkuat narasi Indonesia di pasar global. “Film seperti Menuju Pelaminan penting karena menggabungkan identitas budaya dan nilai komersial. Ini bukti bahwa film lokal bisa maju tanpa kehilangan jiwa”, ujar salah satu perwakilan PFN dalam rilis resmi.

Pada akhirnya, Menuju Pelaminan bukan hanya film tentang dua orang yang ingin menikah. Ia adalah cermin kehidupan keluarga Indonesia modern: penuh cinta, tapi juga penuh kompromi.

Dengan pendekatan yang ringan, hangat, dan bersahaja, film ini mengajak penonton untuk melihat ulang makna “pelaminan”, bukan sekadar pesta, melainkan titik temu antara dua dunia yang berbeda.

Di tengah hiruk pikuk film romantis yang sering berfokus pada pasangan muda urban, Menuju Pelaminan terasa lebih membumi. Ia menampilkan cinta yang tidak sempurna, tapi nyata. Cinta yang tumbuh di antara tradisi dan perjalanan panjang penuh debu jalanan.

Cinta lintas budaya dalam Film Menuju Pelaminan bukan sekadar tagline manis. Ia adalah jantung dari film ini jujur, relevan, dan penuh emosi. Dengan kisah yang menghibur, visual menawan, serta pesan yang menggugah, Menuju Pelaminan berhasil menjadi representasi cinta yang tidak hanya menyatukan dua hati, tapi juga dua budaya.

Di tangan Yuda Kurniawan dan tim PFN, perjalanan Jogja–Padang bukan cuma kisah fiksi, tapi perjalanan simbolik bangsa yang terus belajar untuk saling memahami. Dan siapa tahu, setelah menontonnya nanti, kamu pun akan bertanya hal yang sama seperti Fajar dan Rahma: “Apakah cinta cukup untuk membawa kita sampai ke pelaminan?”