Film Abadi Nan Jaya merupakan salah satu produksi horor terbaru dari Indonesia yang sedang menarik perhatian publik. Mengusung tema wabah undead atau zombi, film ini tidak hanya menawarkan sensasi menegangkan khas genre horor, tetapi juga menyelipkan konflik kemanusiaan dan nilai kekeluargaan yang jarang disentuh dalam film bertema serupa. Proyek ini menjadi bukti bahwa perfilman Indonesia semakin berani mengeksplorasi narasi kompleks yang memadukan aksi, drama, dan refleksi sosial.
Disutradarai oleh Kimo Stamboel, sineas yang dikenal melalui karya-karya horor seperti Ratu Ilmu Hitam dan Ivanna, film ini mempertemukan dua generasi aktor ternama Donny Damara dan Eva Celia dalam satu layar. Kehadiran mereka menambah bobot artistik sekaligus emosional dalam penceritaan. Selain keduanya, deretan pemeran lain seperti Marthino Lio, Dimas Anggara, Mikha Tambayong, dan Karina Salim juga turut berperan penting, menjadikan film ini sebagai kolaborasi lintas generasi di dunia perfilman horor tanah air.
Menurut keterangan resmi dari Netflix, film ini memiliki sinopsis sebagai berikut:
“An elixir unleashes the undead in a village. A family at odds with one another must unite and fight to survive as their hometown collapses”.
Terjemahannya, “Sebuah ramuan memunculkan para mayat hidup di sebuah desa. Sebuah keluarga yang sedang berselisih harus bersatu dan berjuang untuk bertahan hidup ketika kampung halaman mereka hancur”.

Sinopsis singkat tersebut menggambarkan inti kisah Abadi Nan Jaya bagaimana ancaman dari luar (zombi) justru memaksa manusia untuk menghadapi konflik internal mereka sendiri. Dengan premis ini, film tersebut berusaha menggabungkan elemen horor dan kemanusiaan, menghadirkan cerita yang tidak sekadar menakut-nakuti penonton, tetapi juga mengajak merenung tentang solidaritas, kehilangan, dan makna bertahan hidup.
Dalam konteks perfilman nasional, pendekatan seperti ini menjadi menarik karena memperlihatkan bahwa genre horor Indonesia tidak lagi semata mengandalkan jumpscare atau efek visual menegangkan, melainkan mulai mengedepankan kedalaman tema dan penggambaran karakter yang realistis. Abadi Nan Jaya menampilkan ketegangan yang disandingkan dengan rasa empati dimana ancaman zombi hanyalah cermin dari ketakutan dan kehancuran sosial yang mungkin ada di dunia nyata.
Dua pemeran utama film Abadi Nan Jaya, Donny Damara dan Eva Celia, kompak menyatakan bahwa proyek ini merupakan salah satu pengalaman paling menantang sekaligus berkesan dalam karier mereka. Bukan hanya karena tuntutan fisik yang berat, tetapi juga karena kedalaman makna yang diselipkan dalam naskah film tersebut.
Sebagai aktor senior dengan segudang pengalaman, Donny Damara menilai bahwa Abadi Nan Jaya berbeda dari kebanyakan film horor lain yang hanya berfokus pada efek kejut atau visual mengerikan. Dalam wawancaranya dengan VOI, ia mengungkapkan bahwa proyek ini menuntutnya untuk menyatu secara emosional dengan karakter, bukan sekadar memainkan rasa takut.
“It’s not as easy as I imagined, playing an ordinary human being… we were directed by our captain, Mas Kimo, to act with blood, sweat, and tears”, ungkap Donny Damara. “If your face is ready, your shoulder is ready not to move… every department must research the right movement based on local wisdom”.
Donny menekankan bahwa film ini memiliki lapisan budaya lokal yang kuat mulai dari ekspresi tubuh hingga cara karakter menghadapi situasi ekstrem, semuanya dirancang agar terasa “Indonesia banget”. Ia juga mengapresiasi kolaborasi lintas departemen yang detail, termasuk tata gerak, tata rias, dan sinematografi yang digarap secara mendalam.
Bagi Donny, Abadi Nan Jaya bukan hanya film tentang zombi, tetapi juga tentang manusia yang berjuang mempertahankan sisi kemanusiaannya di tengah kehancuran. Hal itu, menurutnya, adalah hal yang justru membuat film ini istimewa.
Sementara itu, Eva Celia mengaku bahwa proses syuting film ini adalah salah satu pengalaman paling intens dalam karier aktingnya. Ia bercerita tentang bagaimana syuting dilakukan dalam kondisi panas, mengenakan prostetik berat, hingga menggunakan lensa kontak khusus yang membatasi pandangan.
“I can’t imagine being a liar, running in the heat with prosthetics and lens contacts. Their energy, love”, kata Eva Celia saat diwawancara. Meski penuh tantangan, Eva menyebut bahwa seluruh tim dari aktor utama hingga figuran memiliki semangat luar biasa untuk mewujudkan visi sang sutradara. Ia kagum melihat dedikasi para pemeran zombi yang tetap energik dan fokus meski harus berjam-jam menjalani make-up serta latihan gerak intensif.
Lebih jauh, Eva menilai bahwa Abadi Nan Jaya mengandung pesan kuat tentang rasa kebersamaan dan empati di tengah situasi ekstrem. “Film ini berbicara soal bagaimana manusia bertahan bukan hanya karena kekuatan fisik, tapi karena hubungan yang mereka miliki satu sama lain”, ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Menariknya, film ini mempertemukan aktor-aktor dari berbagai generasi, dari veteran seperti Donny Damara hingga bintang muda seperti Eva Celia, Mikha Tambayong, dan Marthino Lio. Sinergi antargenerasi ini menghasilkan dinamika yang segar di layar.
Sutradara Kimo Stamboel, yang sebelumnya sukses menggarap Ratu Ilmu Hitam (2019), disebut Donny sebagai “kapten” yang tegas namun penuh empati. Ia tidak hanya mengarahkan akting, tetapi juga melibatkan para pemain dalam eksplorasi makna cerita. Proses produksi pun tidak main-main: menurut laporan VOI, ada lebih dari 200 pemeran pendukung dan tim teknis yang terlibat dalam adegan massal, terutama dalam sekuens pertempuran antara manusia dan zombi. Semua dikerjakan dengan riset mendalam mengenai gerak tubuh, karakterisasi, dan ekspresi khas “undead versi Indonesia”, menjadikan film ini unik dibanding film zombi Barat.
Baik Donny Damara maupun Eva Celia sama-sama menilai bahwa kekuatan terbesar Abadi Nan Jaya bukan terletak pada efek visual atau aksi menegangkan, melainkan pada pesan kemanusiaan yang tersirat di balik setiap adegannya. Film ini, menurut mereka, mengingatkan bahwa di tengah kekacauan, manusia selalu punya pilihan: menjadi monster, atau tetap berpegang pada kasih dan empati.
Kombinasi antara naskah reflektif, penyutradaraan matang, dan penampilan aktor lintas generasi menjadikan Abadi Nan Jaya sebagai salah satu film horor Indonesia paling dinanti di tahun 2025. Dengan dukungan Netflix sebagai platform global, film ini berpotensi memperkenalkan wajah baru sinema horor Indonesia ke kancah internasional tidak hanya menakutkan, tapi juga bermakna dan emosional.
Lebih dari sekedar film horor bertema zombi, Abadi Nan Jaya mengandung lapisan simbolik yang membuatnya relevan dengan kondisi sosial dan emosional manusia modern. Judulnya sendiri Abadi Nan Jaya mengandung paradoks: di satu sisi, “abadi” mencerminkan keinginan manusia untuk bertahan hidup selamanya; di sisi lain, “jaya” melambangkan kemenangan yang tidak selalu berarti fisik, melainkan kemenangan moral dan batin di tengah kehancuran.
Dalam banyak film internasional, zombi sering digambarkan sebagai simbol kehilangan identitas, ketakutan terhadap penyakit, atau kepatuhan buta terhadap sistem. Namun dalam konteks Abadi Nan Jaya, zombi hadir sebagai refleksi dari krisis sosial dan emosional masyarakat modern Indonesia masyarakat yang terus bergerak cepat namun perlahan kehilangan arah dan empati.
Wabah undead yang melanda desa dalam film ini tidak hanya menjadi ancaman fisik, tapi juga perwujudan metaforis dari kebusukan sosial: keserakahan, ego, dan ketidakmampuan manusia untuk bersatu. Dalam wawancara di VOI, Donny Damara menyebut bahwa film ini “memaksa karakter untuk menghadapi bukan hanya zombi, tetapi juga diri mereka sendiri”.

Zombi dalam Abadi Nan Jaya tidak digambarkan sebagai monster tanpa jiwa semata, melainkan simbol dari manusia yang kehilangan arah spiritual dan moralitasnya mereka hidup, tapi tanpa kehidupan sejati.
Inti emosional film ini terletak pada konflik sebuah keluarga yang terpecah, namun dipaksa bersatu saat dunia di sekitar mereka runtuh. Seperti tertulis dalam sinopsis resmi di Netflix, “A family at odds with one another must unite and fight to survive as their hometown collapses”.
Keluarga dalam film ini berfungsi sebagai mikrokosmos dari masyarakat: tempat di mana konflik, cinta, dan perpecahan berlangsung, tetapi juga satu-satunya ruang yang mampu memunculkan kembali rasa kemanusiaan. Ketika ancaman datang dari luar dalam bentuk wabah undead film ini mengajukan pertanyaan mendasar:
Apakah manusia masih bisa saling percaya ketika dunia memaksa mereka untuk bertahan hidup sendiri-sendiri?
Jawaban yang diberikan film ini tidak sederhana. Melalui perjalanan para karakternya, penonton diajak melihat bahwa kekuatan sejati bukan pada senjata atau strategi, tetapi pada keberanian untuk memaafkan, memahami, dan bersatu kembali.
Judul Abadi Nan Jaya juga membuka ruang interpretasi yang menarik. Dalam konteks spiritual dan filosofis, “keabadian” di sini bukan berarti hidup selamanya secara fisik seperti para zombi melainkan keabadian nilai dan cinta antar manusia. Film ini menegaskan bahwa meski tubuh bisa hancur, jiwa, kenangan, dan kebaikan dapat bertahan jauh lebih lama. Inilah pesan moral yang disampaikan dengan lembut dibalik hiruk pikuk adegan horor dan pertempuran.
Sutradara Kimo Stamboel tampak berupaya menghadirkan film yang bukan sekadar menegangkan, tetapi juga menyentuh lapisan eksistensial penontonnya bagaimana kita memaknai kehidupan, kematian, dan hubungan dengan sesama. Dengan pendekatan ini, Abadi Nan Jaya bisa dibaca sebagai drama spiritual yang dikemas dalam bentuk horor modern.
Dengan memadukan elemen drama keluarga, kritik sosial, dan simbolisme spiritual, Abadi Nan Jaya berhasil menempatkan dirinya di posisi unik dalam peta sinema horor Indonesia. Film ini membuktikan bahwa genre horor bisa menjadi wadah untuk membicarakan isu-isu kemanusiaan dan eksistensial secara mendalam, tanpa kehilangan daya hibur visualnya.
Melalui penampilan kuat Donny Damara dan Eva Celia, film ini menghadirkan narasi tentang manusia yang rapuh namun tetap berjuang untuk bertahan bukan demi diri sendiri, tetapi demi sesama. Dan mungkin, di situlah letak “keabadian” yang sesungguhnya: bukan dalam hidup tanpa akhir, tetapi dalam cinta dan empati yang tidak pernah mati.