Dalam jagat perfilman Indonesia, nama Reza Rahadian sudah menjadi jaminan mutu. Selama lebih dari satu dekade, ia dikenal sebagai aktor multitalenta yang mampu menjiwai berbagai karakter mulai dari tokoh politik, komedi romantis, hingga drama psikologis. Namun kali ini, Reza melangkah ke wilayah baru yang lebih personal dan menantang duduk di kursi sutradara lewat film terbarunya berjudul Pangku.
Film Pangku bukan sekadar proyek artistik biasa. Bagi Reza, ini adalah bentuk ungkapan cinta dan penghormatan mendalam kepada sosok ibu, figur yang telah menjadi sumber kekuatan sekaligus inspirasi dalam perjalanan hidupnya. Ia menggambarkan film ini sebagai karya yang “lahir dari hati” ruang refleksi tentang bagaimana perjuangan seorang ibu bisa menjadi cermin keteguhan dan kasih yang tanpa batas.
Lebih dari sekadar kisah keluarga, Pangku menjadi wadah bagi Reza untuk mengeksplorasi isu sosial dan keberanian perempuan di tengah realitas keras kehidupan Indonesia modern. Film ini menyoroti lapisan-lapisan kehidupan perempuan yang kerap luput dari perhatian: perjuangan mereka untuk bertahan, mencintai, dan menjaga, bahkan ketika dunia seolah tidak memberi ruang.
Melalui narasi yang kuat dan visual yang intim, Reza berupaya mengajak penonton menyelami makna “pangku” yang tak hanya berarti memeluk secara fisik, tetapi juga menopang, melindungi, dan menanggung beban hidup dengan penuh kasih. Dalam konteks ini, film tersebut menjadi simbol perjuangan universal para ibu di Indonesia, yang dengan keteguhan dan kelembutan mereka, terus menjadi penyangga kehidupan bagi keluarga dan generasi berikutnya.

Dengan gaya penyutradaraan yang emosional dan berlapis, Reza Rahadian menghadirkan Pangku bukan sekadar film, melainkan surat cinta terbuka kepada para ibu, serta bentuk perayaan atas keteguhan perempuan yang tak kenal lelah menghadapi kenyataan hidup.
Keputusan Reza Rahadian untuk menyutradarai Pangku bukanlah langkah spontan. Sejak lama, ia dikenal sebagai aktor yang tidak hanya memerankan karakter, tetapi juga memahami kedalaman cerita dan pesan di balik layar. Namun dalam perjalanan karier panjangnya, ada satu sosok yang selalu menjadi pusat semesta inspirasinya: sang ibu, Pratiwi Widantini Matulessy.
Dalam beberapa wawancara, Reza kerap menyebut bahwa ibunya adalah sumber kekuatan, keteguhan, dan nilai-nilai hidup yang ia pegang hingga kini. Maka tak heran jika ketika ia memutuskan untuk duduk di kursi sutradara untuk pertama kalinya, film debutnya dipersembahkan khusus untuk sang ibu. “Film ini adalah bentuk terima kasih saya. Dedikasi untuk perempuan paling hebat dalam hidup saya”, ungkap Reza dalam sesi konferensi pers di Jakarta.
Inspirasi cerita Pangku berakar dari realitas sosial di wilayah Pantura (Pantai Utara Jawa) daerah dengan tradisi “kopi pangku” yang menjadi simbol ekonomi rakyat kecil sekaligus representasi kerasnya perjuangan perempuan di daerah tersebut. Bersama tim produksinya, Reza melakukan riset mendalam selama berbulan-bulan, mewawancarai perempuan yang bekerja di warung kopi pinggir jalan dan menyelami kisah nyata mereka tentang pengorbanan, stigma, dan harapan.
Reza menyebut pengalaman itu sebagai proses spiritual yang mengubah caranya memandang hidup. “Saya belajar banyak dari perempuan-perempuan yang hidupnya penuh perjuangan, tapi tetap punya semangat luar biasa untuk bertahan. Dari situlah saya menemukan makna sejati dari kata pangku bukan sekadar duduk di pelukan, tetapi simbol kekuatan untuk menopang hidup orang lain”, ujarnya dalam wawancara bersama IDN Times.
Dari riset itu, lahirlah karakter Sartika, seorang ibu yang menjadi tokoh utama film Pangku. Melalui dirinya, Reza menggambarkan kompleksitas seorang perempuan yang berada di persimpangan antara kebutuhan ekonomi, nilai-nilai keluarga, dan perjuangan mempertahankan harga diri. Cerita ini bukan hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga menghadirkan refleksi sosial yang mendalam tentang perempuan yang kuat, tapi seringkali tak terlihat.
Film Pangku menghadirkan kisah yang sederhana namun sarat makna. Sartika, seorang perempuan tangguh dari pesisir Pantura, bekerja di warung kopi kecil tempat para sopir truk singgah untuk beristirahat. Namun di balik senyum yang ramah, tersimpan beban hidup dan pilihan sulit yang tak banyak orang pahami.

Setiap hari, Sartika berjuang demi keluarganya menjadi tulang punggung sekaligus penjaga moral dalam masyarakat yang kerap memandang rendah pekerjaannya. Namun cinta seorang ibu membuatnya tetap bertahan, meski dunia seakan menentang.
Konflik muncul ketika anaknya mulai beranjak dewasa dan mempertanyakan sumber nafkah keluarga. Di titik itu, Sartika dihadapkan pada dilema antara kejujuran dan keteguhan, antara cinta dan harga diri.
Dalam film ini, Reza Rahadian menempatkan Sartika sebagai poros emosional cerita. Ia bukan pahlawan yang sempurna, melainkan manusia yang bisa marah, kecewa, dan lelah namun tetap memilih untuk mencintai. “Saya ingin penonton merasa dekat. Bahwa perjuangan Sartika mungkin adalah perjuangan ibu, tante, atau bahkan tetangga mereka sendiri”, ujar Reza dalam wawancara bersama Media Indonesia.
Melalui visual yang lembut dan pencahayaan natural, Pangku menggambarkan kehidupan pesisir dengan kejujuran yang jarang terlihat di film Indonesia modern. Kamera berfokus pada gerak tubuh kecil, tatapan mata, dan keheningan yang berbicara memperlihatkan keindahan di balik kesederhanaan.
Proses produksi Pangku mencerminkan ketekunan Reza Rahadian dalam menciptakan karya yang otentik. Ia memulai pengembangan ide pada akhir 2023, dilanjutkan dengan riset mendalam dan penulisan naskah selama empat bulan.
Syuting dilakukan selama 16 hari di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan jadwal yang padat namun penuh kehangatan. Reza menerapkan gaya intimate directing pendekatan penyutradaraan yang memberi ruang emosional bagi aktor untuk benar-benar memahami karakter mereka. Banyak adegan emosional diambil hanya dalam satu kali pengambilan, demi menjaga spontanitas dan ketulusan.
Reza juga melibatkan masyarakat lokal sebagai pemeran tambahan agar suasana film terasa alami. “Saya ingin energi film ini lahir dari tempat aslinya. Dari wajah-wajah yang mungkin tidak dikenal, tapi menyimpan kejujuran luar biasa”, ujarnya.

Selain kuat secara produksi, film Pangku memiliki dedikasi personal yang dalam. Reza secara terbuka mempersembahkan film ini untuk ibunya, yang ia sebut sebagai “perempuan paling tangguh” dalam hidupnya. “Film ini adalah surat cinta untuk Ibu perempuan yang mengajari saya bagaimana bertahan tanpa harus keras, bagaimana mencintai tanpa harus banyak bicara”, tulisnya di akun media sosial.
Secara teknis, film ini menghadirkan sinematografi bernuansa hangat dengan dominasi warna tanah dan jingga menggambarkan kasih sayang, kelelahan, dan harapan yang berpadu dalam kehidupan sehari-hari. Musik latarnya minimalis, menghadirkan keheningan sebagai bentuk komunikasi emosional.
Tak heran jika Pangku segera mendapat perhatian internasional. Film ini telah terpilih dalam program “Asian Vision” di Busan International Film Festival (BIFF) 2025, sebuah prestasi langka bagi film debut seorang sutradara Indonesia.
Di balik setiap langkah besar seorang anak, selalu ada figur ibu yang menopang dalam diam. Itulah esensi yang dihadirkan Reza lewat Pangku. Bagi Reza Rahadian, film ini adalah refleksi tentang cinta tanpa syarat dan kekuatan yang tersembunyi di balik kelembutan seorang ibu.
Dalam berbagai kesempatan, ia menggambarkan ibunya sebagai perempuan yang tegas namun lembut, yang mengajarkan arti keteguhan tanpa perlu banyak bicara. “Saya tumbuh dari pangkuan seorang ibu yang tidak pernah menyerah. Dan mungkin karena itu juga saya menamai film ini Pangku”, ucapnya.
Film ini menampilkan ibu bukan sebagai sosok sempurna, tapi manusiawi yang lelah, rapuh, namun tetap kuat karena cinta. Melalui Pangku, Reza ingin menghapus glorifikasi semu terhadap ibu dan menggantinya dengan empati yang nyata.
Makna “pangku” dalam film ini juga memiliki lapisan simbolik. Ia menggambarkan pelukan kasih dan juga beban hidup yang dipikul seorang ibu. Dari pangkuan itulah, dunia belajar tentang kehangatan dan keteguhan yang menjadi dasar keberlangsungan hidup. “Kita sering bilang cinta ibu tak terhingga, tapi jarang kita pikirkan apa yang harus ia tanggung untuk tetap kuat”, tutur Reza kepada VOI Indonesia.

Melalui Pangku, Reza Rahadian melampaui batas sebagai aktor dan membuktikan kedewasaan artistiknya sebagai sutradara. Ia tidak sekadar membuat film, melainkan menyusun penghormatan emosional bagi para ibu dan perempuan Indonesia.
Film ini menjadi simbol bahwa sinema bisa berfungsi lebih dari hiburan ia dapat menjadi jembatan empati dan refleksi sosial. Dengan Pangku, Reza mengajak penonton berhenti sejenak, menatap ke dalam diri, dan mengingat kembali sosok yang telah memberi segalanya tanpa meminta balasan: ibu. “Di dunia yang semakin keras, pelukan seorang ibu tetap menjadi tempat paling lembut untuk kembali”.





![Cerita di Balik Syuting Petualangan Sherina 2! [NGOBROL BARENG] Cerita di Balik Syuting Petualangan Sherina 2! [NGOBROL BARENG]](https://iswaranetwork.com/wp-content/uploads/2023/10/Cerita-di-Balik-Syuting-Petualangan-Sherina-2-NGOBROL-BARENG-180x135.webp)










