Curah hujan tinggi yang belakangan melanda berbagai wilayah Indonesia, termasuk kawasan padat Jabodetabek, menimbulkan tanda tanya besar mengenai kedatangan musim kemarau yang sebelumnya diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Alih-alih langit cerah, masyarakat justru masih harus berhadapan dengan guyuran hujan yang cukup intens.
Menanggapi fenomena ini, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, memberikan penjelasan komprehensif. Ia menegaskan bahwa saat ini Indonesia masih berada dalam periode transisi atau pancaroba, yaitu peralihan dari musim hujan menuju musim kemarau. Hujan yang terjadi saat ini, menurutnya, dipicu oleh konvergensi, yaitu pertemuan massa udara, serta labilitas lokal yang memperkuat pembentukan awan konvektif.
“Fenomena ini menyebabkan hujan tetap mengguyur, terutama pada sore dan malam hari, di sejumlah wilayah seperti Aceh, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua,” ungkap Guswanto, memberikan gambaran luas mengenai sebaran hujan di berbagai pulau, seperti yang dikutip dari CNBC.
Lebih lanjut, Guswanto menjelaskan bahwa labilitas lokal merupakan kondisi atmosfer yang unik, memungkinkan udara hangat dan lembab untuk naik secara cepat karena kepadatannya yang lebih rendah dibandingkan udara di sekitarnya. “Kondisi ini seringkali terjadi di wilayah dengan pemanasan matahari yang kuat atau adanya perbedaan suhu yang signifikan antara berbagai lapisan ketinggian atmosfer,” jelasnya, memberikan pemahaman ilmiah yang mudah dicerna.
Tak hanya itu, BMKG juga mengeluarkan peringatan dini terkait potensi cuaca ekstrem dalam sepekan ke depan. Pengaruh bibit siklon tropis 96S yang terpantau di Laut Arafura, dengan kecepatan angin maksimum mencapai 25 knot dan tekanan udara 1004 hPa yang bergerak ke arah barat daya, berpotensi memicu hujan lebat, angin kencang, hingga petir di beberapa wilayah. Daerah yang patut mewaspadai dampak bibit siklon ini antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku bagian selatan, dan Papua Selatan.
BMKG menggarisbawahi bahwa hingga sepekan mendatang, sejumlah wilayah di Indonesia masih akan menghadapi potensi curah hujan yang signifikan, terutama di wilayah Indonesia bagian selatan dan timur. Kondisi ini, menurut analisis BMKG, diperkuat oleh aktifnya fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) secara spasial, serta pengaruh gelombang atmosfer seperti Gelombang Rossby Ekuatorial, Gelombang Kelvin, dan Gelombang Low Frequency.
Di sisi lain, BMKG juga mengakui bahwa beberapa wilayah di Indonesia sudah mulai memasuki periode musim peralihan (pancaroba) dari musim hujan menuju musim kemarau. “Pada periode ini, kondisi cuaca umumnya bersifat variatif dan dinamis, dengan potensi hujan yang masih dapat terjadi secara tiba-tiba, seringkali disertai angin kencang dan kilat/petir pada siang atau sore hari,” jelas BMKG, memberikan gambaran khas cuaca pancaroba.
Menyikapi kondisi cuaca yang fluktuatif ini, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap perubahan cuaca yang umumnya terjadi relatif lebih cepat, serta variasi kondisi cuaca secara spasial yang signifikan. Kewaspadaan ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengantisipasi dan meminimalisir dampak buruk yang mungkin timbul akibat cuaca ekstrem.
Potensi Cuaca Ekstrem Berdasarkan Tanggal:
11-13 April 2025: Hujan lebat berpotensi melanda Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Timur (Kaltim), Maluku, dan Papua Selatan. Angin kencang berpotensi terjadi di Maluku, NTT, dan Papua Selatan.
14-17 April 2025: Hujan lebat diprediksi akan melanda Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Papua Barat, dan Papua Selatan. Angin kencang masih berpotensi terjadi di Maluku dan NTT.
Lantas, Kapan Musim Kemarau Tiba?
Meskipun saat ini sebagian besar wilayah masih diguyur hujan, BMKG memperkirakan bahwa 57,7% wilayah Indonesia akan mulai memasuki musim kemarau pada periode April hingga Juni 2025. Nusa Tenggara diprediksi menjadi wilayah yang akan lebih dulu merasakan kedatangan musim kemarau.
“Puncak musim kemarau diprediksi akan terjadi pada bulan Agustus, dengan durasi yang bervariasi di setiap daerah, mulai dari dua bulan hingga lebih dari delapan bulan,” jelas BMKG, memberikan gambaran perkiraan puncak musim kemarau dan durasinya di berbagai wilayah.
Kendati demikian, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengingatkan bahwa musim kemarau tidak serta-merta berarti bebas dari hujan. Dinamika atmosfer global, seperti fenomena El Nino atau La Nina, Madden-Julian Oscillation (MJO), hingga kondisi topografi unik Indonesia, turut berperan dalam memicu terjadinya hujan lokal meskipun sedang dalam periode musim kemarau. Penjelasan ini memberikan perspektif penting bahwa dinamika cuaca di Indonesia sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.