Banda Neira Kembali dengan Visual Kuat Realitas Kelas Pekerja di ‘Mimpilah Seliar-liarnya’

0
0
Sumber: Instagram/_berjalanlebihjauh

Pada 26 November 2025, Banda Neira resmi meluncurkan video musik “Mimpilah Seliar-liarnya” sebuah karya visual yang tidak hanya menawarkan keindahan estetika, tetapi juga memantulkan realitas sosial yang akrab bagi kelas pekerja di kota-kota besar. Alih-alih sekadar menjadi pelengkap lagu, video ini tampil sebagai medium refleksi yang menangkap ritme hidup urban kelelahan yang menumpuk, impian yang nyaris terabaikan, dan ketangguhan yang terus dipaksa tumbuh.

Lagu ini sendiri merupakan bagian dari album “Tumbuh dan Menjadi”, yang menjadi penanda fase baru Banda Neira setelah hadirnya formasi berbeda. Dalam babak ini, Ananda Badudu dan Sasha mengambil peran vokal utama dan membawa nafas segar pada karakter musikal grup. Perubahan ini tak hanya memperluas warna suara Banda Neira, tetapi juga membuka ruang bagi eksplorasi tema yang lebih luas dan personal. Melalui video musik tersebut, Banda Neira seolah mengarahkan pesannya langsung kepada jutaan pekerja urban mereka yang setiap hari berjibaku dengan waktu, jarak, hiruk pikuk kota, serta mimpi yang kerap harus ditunda. “Mimpilah Seliar-liarnya” menjadi semacam pengingat lembut sekaligus kritik halus tentang kerasnya realitas hidup, namun tetap menyisakan ruang untuk harapan yang tidak pernah benar-benar padam.

Lagu dan video musik “Mimpilah Seliar-liarnya” berakar dari pengalaman pribadi Ananda Badudu yang sangat dekat dengan realitas pekerja urban. Setiap hari, ia harus menempuh perjalanan pulang-pergi sejauh kurang lebih 100 kilometer dari Jakarta menuju Cikarang. Rutinitas itu memakan waktu hampir empat jam per hari waktu yang bagi banyak pekerja kota sering dianggap lumrah, namun sesungguhnya sangat membebani fisik dan mental. Pada suatu malam, usai perjalanan panjang yang terus berulang, Ananda tiba di rumah pada pukul satu dini hari dalam keadaan benar-benar kelelahan. Saat tubuhnya jatuh terbaring tanpa tenaga, momen itu menjadi pemantik lahirnya gagasan awal “Mimpilah Seliar-liarnya”.

Sumber: Instagram/_berjalanlebihjauh

Ia kemudian mengungkapkan bahwa rasa lelah tersebut bukan hanya berasal dari satu hari penuh aktivitas, melainkan akumulasi keletihan yang telah menumpuk selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. “Capeknya itu bukan cuma hari itu, tapi yang menumpuk sekian lama”. Ketika menuangkan ide ke dalam lirik, Ananda memilih pendekatan yang jujur dan sangat realistis. Ia berusaha menangkap bagaimana tekanan hidup para pekerja sering kali tidak lahir dari pilihan pribadi, tetapi dari kondisi struktural yang membatasi.

Jarak tempat tinggal dan lokasi kerja yang saling berjauhan, transportasi publik yang tidak selalu memadai, serta ruang kota yang tidak dirancang untuk kenyamanan manusia semua menjadi bagian dari masalah besar yang membuat kelelahan dianggap sebagai “harga normal” untuk bertahan hidup. Karena itu, “Mimpilah Seliar-liarnya” bukan hanya catatan keletihan seorang musisi. Karya ini berkembang menjadi bentuk penghormatan bagi jutaan orang yang melalui rutinitas serupa setiap hari yang terus bekerja, terus berharap, dan terus bermimpi meski tubuh dan pikiran sering kali berada di batasnya. Lagu ini menyuarakan empati sekaligus merayakan keteguhan hati kelas pekerja yang tidak pernah berhenti berusaha demi kehidupan yang lebih baik.

Video musik “Mimpilah Seliar-liarnya” digarap oleh sutradara Bernardus Raka, yang sejak awal diberi ruang kreativitas penuh oleh Banda Neira. Alih-alih menerima arahan visual yang kaku, ia diminta untuk terlebih dahulu “menyerap” esensi lagu merasakan emosi, pesan, dan denyut kisah di baliknya baru kemudian menerjemahkannya ke dalam bentuk visual. Kebebasan kreatif ini membuat hasil akhirnya terasa sangat jujur, organik, dan penuh kedalaman emosional.

Berbeda dari banyak video musik yang menggambarkan mimpi sebagai tempat pelarian yang damai atau penuh fantasi, karya ini justru memilih sudut pandang yang lebih kelam dan realistis. Dunia mimpi dalam video digambarkan sebagai refleksi retak dari kehidupan sehari-hari penuh distorsi, patah, dan tidak sepenuhnya utuh. Visual-visual “rusak” itu menyiratkan bahwa bagi sebagian orang, terutama kelas pekerja, mimpi bukanlah ruang bebas. Ketidakadilan struktural, tekanan hidup, dan rasa lelah yang kronis sering kali tetap mengikuti hingga ke dalam tidur.

Sumber: Instagram/_berjalanlebihjauh

Para pemeran yang terlibat mulai dari Meidina, Kun Baehaqi Almas, hingga para pemain cilik menjadi elemen penting yang memperkuat narasi tersebut. Mereka tampil mewakili gambaran kehidupan pekerja urban ruang hidup yang sempit, ritme harian yang padat, dan beban tak terlihat yang selalu menempel di pundak. Gestur kecil, ekspresi wajah, hingga dinamika interaksi antar karakter menambah kedalaman cerita yang ingin disampaikan.

Secara estetika dan struktur penceritaan, video ini menjauh dari konsep “pelarian indah” yang sering ditemukan dalam karya visual musik. Tidak ada imaji glamor atau romantisasi hidup. Sebaliknya, video menempatkan manusia langsung di tengah pusaran kehidupan kota yang menuntut sebuah lingkungan yang jarang memberi jeda untuk bernapas, namun terus memaksa warganya untuk bangun dan kembali produktif keesokan hari. Keseluruhan visual ini menggambarkan kenyataan yang sangat dekat dengan jutaan pekerja urban, sehingga pesan yang dibawa terasa relevan dan mengena.

Walaupun lagu ini menyoroti kenyataan hidup yang berat, “Mimpilah Seliar-liarnya” tidak tenggelam dalam nada putus asa. Di balik gambaran kelelahan dan perjuangan sehari-hari, terselip gagasan tentang sebuah “ruang-pulang” tempat sederhana yang menjadi sumber kehangatan, kasih, dan penguatan emosional bagi seseorang untuk terus bertahan. Lewat perpaduan vokal Sasha dan Ananda, kelembutan itu semakin terasa.

Lirik-lirik seperti “mandilah jika kau mau saja”, “ku buatkan kau minum ’tuk sementara”, hingga “tidurlah kini hari sudah malam” menggambarkan bentuk perhatian kecil yang justru paling tulus empati yang hadir dalam tindakan sederhana, kerelaan untuk saling merawat, dan solidaritas yang muncul dari hubungan manusia sehari-hari.

Makna tersebut memberikan isyarat bahwa meskipun kehidupan sering memaksa seseorang untuk terus berjuang tanpa henti, selalu ada tempat aman yang bisa menjadi perhentian. Ruang itu mungkin kecil dan sederhana sebuah rumah, pelukan hangat, atau bahu untuk bersandar namun keberadaannya sangat berarti karena di sanalah harapan kembali dipupuk.

Sumber: Instagram/_berjalanlebihjauh

“Mimpilah Seliar-liarnya” hadir bukan hanya sebagai karya musik atau rangkaian visual, tetapi sebagai sebuah seruan yang mengajak pendengarnya untuk membuka mata terhadap realitas yang dialami jutaan pekerja setiap hari. Lagu ini mengingatkan kita bahwa kelelahan yang mereka pikul bukanlah hal yang seharusnya dianggap wajar, dan bahwa mimpi, harapan, serta ruang istirahat emosional adalah hak yang layak dimiliki siapa pun, tak peduli seberapa berat hidup menekan. Melalui pesan-pesannya, karya ini mendesak kita untuk tidak menerima begitu saja beban struktural yang selama ini dianggap normal mulai dari jarak kerja yang jauh, waktu tempuh yang melelahkan, hingga tuntutan produktivitas tanpa henti. Di saat yang sama, ia menyoroti pentingnya mendengar suara mereka yang kerap tenggelam dalam hiruk-pikuk kota.

Banda Neira memperlihatkan bahwa musik bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga alat untuk menyampaikan kritik sosial dan menyentuh sisi kemanusiaan pendengarnya. Dalam karya ini, mereka berhasil menggabungkan kepedihan realitas dengan kehangatan empati, menyatukan rasa perih dan harapan dalam sebuah narasi yang lembut namun kuat. Melalui “Mimpilah Seliar-liarnya”, mereka seolah mengajak kita baik kaum pekerja maupun siapa saja yang pernah merasa lelah untuk berhenti sejenak, meresapi emosi yang mungkin selama ini kita abaikan, dan merasakan bahwa kita tidak sendirian. Lagu ini menjadi undangan untuk kembali mengenali diri, memahami sesama, dan menyadari betapa berharganya ruang kecil tempat kita bisa kembali bernafas.