Film Shutter versi Indonesia, yang dibintangi oleh aktris Niken Anjani adalah sebuah film yang menggabungkan unsur hiburan dengan pesan sosial yang kuat, maka ia bisa melewati batas sekadar hiburan. Dalam jagat perfilman horor Indonesia, ada kecenderungan untuk hanya mengejar ketegangan suara teriakan, bayangan gelap, lompatan jump-scare. Lewat film ini, Niken tidak hanya bermain peran: ia juga membawa pengalaman pribadi dan misi sosial untuk menyuarakan pentingnya ruang aman untuk semua orang termasuk di lingkungan kampus, sekolah, dan komunitas sosial.
Niken Anjani dikenal sebagai salah satu aktris Indonesia yang memiliki pengalaman panjang di dunia layar kaca dan perfilman. Namun, melalui proyek film Shutter, ia memperlihatkan sisi yang jauh lebih personal dan emosional. Dalam berbagai wawancara, Niken secara terbuka mengaku pernah menjadi korban pelecehan seksual dan bullying di masa kecilnya sebuah pengalaman yang meninggalkan luka mendalam dan membentuk pandangannya terhadap isu ruang aman.
Keterbukaan Niken inilah yang menjadi alasan utama mengapa ia memutuskan untuk terlibat dalam film Shutter. Ia menilai proyek ini bukan sekadar karya seni, melainkan juga medium untuk bersuara dan berkontribusi terhadap isu sosial yang nyata. “Bisa dibilang salah satu alasan kenapa saya berani dan mau mengambil film Shutter dengan karakter Lilis, karena saya merasa sebagai seniman dan pekerja seni, saya bisa berkontribusi, bisa menyuarakan, bisa mengekspresikan perasaan traumatis, sedih, marah, dan kecewa dari korban bullying”, ujar Niken.

Melalui film ini, ia ingin menunjukkan bahwa penyembuhan tidak selalu berarti melupakan. Sebaliknya, ia melihat pentingnya bergerak maju tanpa terus terjebak di dalam lubang trauma. Baginya, seni dapat menjadi jembatan untuk memulihkan diri sekaligus memberi ruang bagi suara korban agar tidak lagi terpinggirkan.
Dalam wawancara lain, Niken juga mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar selama proses syuting adalah ketika harus memainkan adegan yang memicu ingatan terhadap pengalaman masa lalunya. Situasi itu membuatnya membutuhkan dukungan emosional yang kuat dari sutradara dan seluruh tim produksi agar mampu melewatinya secara mental dan profesional.
Dengan demikian, keputusan Niken untuk bergabung dalam Shutter bukan semata karena peran atau genre filmnya yang menegangkan, melainkan karena misi sosial yang diembannya. Ia ingin menjadikan film horor ini sebagai medium refleksi, penyembuhan, dan perubahan sosial menunjukkan bahwa dari ruang gelap trauma, masih ada cahaya untuk saling memahami dan menciptakan ruang aman bagi semua orang.
Film Shutter versi Indonesia merupakan adaptasi dari film horor legendaris asal Thailand dengan judul yang sama. Versi terbaru ini disutradarai oleh Herwin Novianto dan diproduksi oleh Falcon Pictures. Menurut keterangan dari pihak produksi, proyek ini tidak hanya bertujuan menghadirkan kembali kisah klasik dengan pendekatan visual modern, tetapi juga mengusung misi sosial yang lebih dalam. Produser menyebut bahwa film ini bukan sekadar remake horor biasa melainkan sebuah karya yang mencoba menyentuh isu-isu kemanusiaan yang relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Film ini dijadwalkan tayang resmi di seluruh bioskop Indonesia mulai 30 Oktober 2025, bertepatan dengan momentum Halloween. Cerita Shutter berpusat pada karakter Darwin (diperankan oleh Vino G. Bastian), seorang fotografer muda yang hidupnya berubah total setelah sebuah kecelakaan misterius. Bersama kekasihnya, Pia (Anya Geraldine), Darwin menabrak seorang wanita tak dikenal di jalanan sepi pada malam hari. Namun, sejak peristiwa itu, kehidupan mereka menjadi tak tenang. Bayangan perempuan tersebut mulai muncul di setiap hasil jepretan kamera Darwin seolah terus mengikutinya kemanapun ia pergi.
Pria yang curiga kemudian berusaha mencari tahu siapa sebenarnya sosok perempuan itu. Dalam proses pencariannya, rahasia kelam pun terungkap: kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus, penyalahgunaan kekuasaan, dan sistem pelaporan yang tidak berpihak pada korban. Kengerian dalam film ini tidak hanya datang dari elemen supranatural dan efek jump-scare, tetapi juga dari realitas sosial yang menakutkan tentang rasa bersalah, trauma yang dipendam, serta keadilan yang tak kunjung ditegakkan. Film ini ingin agar penonton tidak hanya merasa takut, tetapi juga terdorong untuk merenung.

Salah satu elemen penting dari film Shutter versi Indonesia adalah hadirnya kampanye sosial bertajuk #SafeSpaceForAll. Kampanye ini digagas untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya ruang aman baik di lingkungan kampus, sekolah, tempat kerja, maupun komunitas sosial. Produser Frederica menyebut bahwa film ini dirancang agar memberikan pengalaman menonton yang “berlapis”: menghadirkan horor, menggugah emosi, sekaligus menyampaikan pesan moral tentang pentingnya empati dan perlindungan terhadap korban kekerasan.
Sutradara Herwin Novianto menambahkan bahwa bayangan dalam film ini bukan hanya sekadar unsur mistis, tetapi juga metafora yang kuat untuk menggambarkan trauma dan kebenaran yang ditekan. Menurutnya, teror sejati dalam Shutter justru lahir dari rasa bersalah, ketidakadilan, dan diamnya masyarakat terhadap kekerasan. Dengan kata lain, film ini memosisikan “hantu” bukan hanya sebagai entitas gaib yang menakutkan, melainkan sebagai simbol dari isu sosial yang masih menghantui dunia nyata dan secara sistemik membutuhkan penyelesaian.
Melalui Shutter, Herwin dan tim Falcon Pictures ingin memperluas definisi film horor di Indonesia dari sekadar hiburan menegangkan menjadi medium refleksi sosial. Cerita tentang bayangan yang menghantui menjadi perumpamaan tentang trauma yang tidak pernah benar-benar hilang, hingga seseorang berani menatapnya dan mulai berbicara. Pesan ini sejalan dengan semangat Niken Anjani yang juga menjadi bagian dari film tersebut: menggunakan seni untuk menyembuhkan diri dan menyuarakan pentingnya ruang aman bagi semua orang.
Niken berperan sebagai “Lilis”, seorang karakter yang memiliki kaitan dengan masa lalu Darwin dan menjadi simbol korban dari sistem yang tak adil. Dalam banyak media, karakter ini ditampilkan sebagai korban pelecehan yang, akhirnya, suaranya muncul melalui teror gaib yang menghantui.
Syuting adegan-adegan yang menyentuh isu pelecehan dan bullying bukanlah hal mudah bagi Niken terlebih karena ia memiliki pengalaman nyata dalam hal tersebut. Dalam wawancaranya, ia mengaku bahwa sebelum setiap “take”, ia harus menenangkan diri, bahkan menggandeng tangan sutradara untuk mendukung secara mental agar adegan bisa dilewati. Memori masa kecilnya yang terluka muncul kembali ketika ia menjalani adegan tersebut sebuah tantangan besar secara psikologis. Meski demikian, hal itu juga yang menjadikannya lebih “nyata” dan membuat ia merasa perannya memiliki makna.
Melalui peran ini, Niken berharap film bukan hanya menghibur tetapi bisa menjadi medium untuk korban merasa kurang tersuarakan. Ia menyampaikan: “Korban berhak speak up. Minimal untuk mendapatkan pertolongan, entah secara hukum atau secara mental agar bisa pulih”. Dengan demikian, keterlibatannya adalah bagian dari kampanye bahwa ruang aman bukan privilese, melainkan hak – hak yang harus dilindungi dan diwujudkan oleh masyarakat dan institusi.

Data menunjukkan bahwa banyak kasus pelecehan, bullying, dan kekerasan seksual terjadi di lingkungan yang seharusnya paling aman: sekolah dan kampus. Sebagai contoh, aktor Vino G. Bastian menyebut bahwa menurut data Komnas Perempuan, banyak kekerasan tersebut terjadi di dunia pendidikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa meski fisik ruang terlihat aman, secara sistemik korban seringkali tidak punya tempat untuk berbicara atau mekanisme yang memadai untuk melapor.
Korban pelecehan atau bullying terutama bila tidak ada ruang aman atau dukungan bisa mengalami dampak jangka panjang: dari kehilangan rasa percaya diri, gangguan psikologis, hingga keterbatasan dalam kehidupan sosial atau profesional. Ruang aman di sini bukan hanya soal bebas fisik dari kekerasan, melainkan bebas dari intimidasi, rasa takut, dan stigma.
Ruang aman bukan hanya tanggung jawab individu korban, tetapi tanggung jawab kolektif: institusi, komunitas, hingga budaya sosial. Film Shutter mencoba memanggil kesadaran kolektif bahwa persoalan sistemik butuh perubahan sistemik bukan hanya solusi individu.
Menariknya, genre horor justru menjadi medium yang tepat untuk mengangkat tema seperti ini. Horor memiliki kekuatan untuk menarik perhatian sekaligus menggugah emosi penonton, sehingga pesan sosial yang disisipkan di dalamnya dapat terasa lebih kuat dan membekas. Melalui metafora khas horor seperti bayangan dan teror gaib, film ini mampu mewakili trauma tersembunyi, rasa bersalah, serta ketidakadilan yang belum terselesaikan di dunia nyata. Lebih dari sekadar menakut-nakuti, Shutter mengajak penonton untuk berefleksi: setelah merasakan ketakutan di layar, apakah kita juga berubah sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat?
Film Shutter versi Indonesia dengan keterlibatan Niken Anjani mewakili sebuah langkah penting: menggabungkan hiburan dengan tanggung jawab sosial. Niken melalui perannya sebagai Lilis membawa suara korban yang selama ini mungkin diam tertindas, dan menegaskan bahwa ruang aman adalah hak setiap orang, bukan kemewahan.
Pesan film ini sangat relevan: lingkungan yang kita anggap aman bisa saja menyimpan luka tersendiri, dan trauma yang tersembunyi bisa muncul dalam wujud teror yang mengusik. Tetapi melalui kesadaran, keberanian untuk berbicara, dan komitmen kolektif, kita bisa mulai membangun ruang yang lebih aman, inklusif, dan suportif.
Bagi penonton, film ini bukan sekadar tontonan biasa tetapi ajakan untuk bertindak. Untuk memastikan bahwa setelah lampu bioskop padam, diskusi tidak berhenti; bahwa setelah adegan berakhir, komitmen untuk menciptakan lingkungan yang aman terus berlanjut.
Niken Anjani tidak hanya memainkan tokoh dalam film ia membawa pesan, pengalaman, dan panggilan agar kita semua menjadi bagian perubahan. Semoga film ini tidak hanya menakutkan namun juga menggugah, mendorong, dan menjadi titik awal bagi ruang-aman yang nyata untuk semua.





![Cerita di Balik Syuting Petualangan Sherina 2! [NGOBROL BARENG] Cerita di Balik Syuting Petualangan Sherina 2! [NGOBROL BARENG]](https://iswaranetwork.com/wp-content/uploads/2023/10/Cerita-di-Balik-Syuting-Petualangan-Sherina-2-NGOBROL-BARENG-180x135.webp)











