“Kami menemukan ada beberapa kepala daerah yang transaksi keuangannya menurut kita tidak sesuai dengan profil, bupati ada 26 orang dengan nilai total uangnya Rp 1,38 triliun,” kata Ketua PPATK Muhammad Yusuf dalam konferensi pers di gedung PPATK Jakarta, Selasa [30/12] seperti dikutip dari Kantor Berita Antara.
Laporan itu selain berasal dari database yang ada di PPATK juga didapat dari database kepemilikan rekening yang ada pada penjedia jasa keuangan baik bank maupun non–bank.
“Selanjutnya gubernur ada 12 orang karena kita lihat berapa gaji gubernur, tapi ternyata masih ada nilai uang yang dilaporkan ke kami [di luar nilai gaji],” tambah Yusuf.
Nilai transaksi dari 12 rekening gubernur tersebut mencapai sekitar Rp 100 miliar.
“Kemudian istri gubernur itu 1 orang, transaksinya memang hanya Rp 15 miliar, tapi itu baru yang ketahuan, nanti tidak lama seperti Akil Mochtar yang lalu mencapai Rp 12 miliar tidak bisa tidak lewat [uang masuk melalui] istrinya,” ungkap Yusuf.
PPATK juga menemukan rekening mencurigakan milik 2 wakil bupati yang mencapai Rp 1,8 miliar.
“’Kan tidak ada gaji wakil bupati sebesar itu,” tegas Yusuf.
Selanjutnya ada 1 wakil gubernur dengan nilai transaksi Rp 300 juta.
“Wakil gubenur ada dua orang totalnya Rp 1,8 miliar. Lalu ada 1 anak bupati dengan nilai Rp 3 miliar. Ini yang juga jadi concern KPK bahwa korupsi itu sudah jadi praktek keluarga,” tambah Yusuf.
Namun Yusuf enggan menyebutkan nama-nama kepala daerah maupun keluarganya yang transaksinya mencurigakan teresbut.
“Hasil analisis ini seluruhnya telah disampaikan kepada penyidik sesuai dengan kewenangan masing-masing,” katanya.
Namun sayangnya laporan hasil analisis [LHA] yang diberikan PPATK baik ke Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian maupun kejaksaan kerap tidak ditindaklanjuti.
“Banyak LHA yang tidak dipakai dengan berbagai alasan, berangkat dari pengalaman tersebut maka kami memilih mana LHA yang benar-benar kuat dan kemudian mengirimkan ke Dirjen [Direktorat Jenderal] Pajak,” tambah Yusuf.
Hasilnya, PPATK mengirimkan 69 LHA terindikasi tindak pidana perpajakan kepada Ditjen Pajak, dari sejumlah LHA itu terdapat potensi pendapatan negara sebesar Rp 2,068 triliun.
Potensi itu sebagian telah terealisasi karena Ditjen Pajak memperoleh pelunasan pembayaran pajak kurang bayar dari pihak-pihak terkait sebesar Rp 1,04 triliun dan sisanya masih terus dilakukan proses penagihan.
Sementara itu, terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, mengingat semakin kompleksnya tipologi sejalan dengan kemajuan teknologi informasi yang tidak mengenal batas teritori, serta besarnya potensi TPPU di Indonesia, maka PPATK merekomendasikan perlunya pembatasan transaksi tunai, mendorong agar Penyedia Jasa Keuangan dapat melaksanakan kewajiban penyampaian pengguna jasanya melalui Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu [SIPESAT], menyelenggarakan pembangunan Diklat Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, dan PPATK dapat diberikan kesempatan untuk menambah sumber daya manusia.
Selain itu, perlu adanya perhatian terhadap remunerasi seluruh pegawai PPATK, untuk menghindari tingginya angka perpindahan pegawai dari PPATK ke instansi lain mengingat besarnya risiko bekerja di PPATK, meningkatkan upaya penelusuran harta kekayaan bagi calon pejabat di lingkungan instansi pemerintah, BUMN, serta pejabat politik lainnya. Terakhir, kepada PPNS Perikanan, kiranya bisa dilakukan capacity building terkait dengan TPPU. ¬´ [foto Antara]