Sepak bola Indonesia selalu dipenuhi euforia, harapan besar, sekaligus kekecewaan yang menyakitkan. Tidak terkecuali di level Tim Nasional U-23, yang belakangan menjadi pusat perhatian publik setelah perjalanan dramatis mereka dalam Piala Asia U-23 2024 dan kemudian tersandung dalam kualifikasi Piala Asia U-23 2026.
Dari nyaris meraih tiket Olimpiade Paris 2024 hingga gagal lolos ke putaran final Piala Asia, kisah Timnas U-23 menjadi refleksi bagaimana prestasi sepak bola Indonesia masih diwarnai naik-turun yang tajam.
Performa Garuda Muda di Piala Asia U-23 2024 di Qatar membuat publik Indonesia bangga. Di fase grup, Indonesia tampil solid dan berhasil lolos ke babak perempat final. Laga paling epik tentu terjadi saat menghadapi Korea Selatan. Setelah bermain imbang 2-2 hingga perpanjangan waktu, Indonesia akhirnya menang lewat adu penalti dengan skor 11-10.
Kemenangan bersejarah ini mengantar Indonesia ke semifinal pencapaian terbaik sepanjang sejarah keikutsertaan di ajang ini. Meski di semifinal mereka tumbang dari Uzbekistan dan akhirnya berada di posisi keempat, pencapaian tersebut tetap membanggakan.
Namun, perjalanan belum selesai. Karena hanya tiga tim terbaik yang otomatis lolos Olimpiade Paris 2024, Indonesia mendapat kesempatan tambahan lewat babak play-off melawan Guinea.
Di babak play-off Olimpiade, Timnas U-23 menghadapi Guinea di Clairefontaine, Prancis. Pertandingan ini begitu menegangkan karena hanya ada satu tiket yang diperebutkan.
Sayangnya, Garuda Muda harus mengakui keunggulan Guinea setelah kalah tipis 0-1. Gol tunggal itu menghancurkan impian Indonesia tampil di Olimpiade setelah terakhir kali tercatat pada 1956.
Meski gagal, publik tetap memberikan apresiasi besar. Timnas U-23 dianggap telah mengembalikan harapan bahwa Indonesia mampu bersaing di level Asia bahkan dunia.
Pasca-turnamen, PSSI melakukan gebrakan dengan menunjuk Gerald Vanenburg, pelatih asal Belanda, untuk menangani Timnas U-23. Vanenburg diharapkan bisa melanjutkan momentum yang ditinggalkan Shin Tae-yong.
Namun, keputusan ini menuai pro-kontra. Sebagian mendukung karena Vanenburg memiliki pengalaman di Eropa, tetapi sebagian lain khawatir pergantian pelatih terlalu cepat dan berisiko mengganggu konsistensi tim.

Harapan besar diletakkan di pundak Vanenburg, terutama untuk menjaga prestasi di kualifikasi Piala Asia U-23 2026.
Indonesia berada di Grup J bersama Korea Selatan, Laos, dan Makau. Harapan sempat tinggi karena format kualifikasi memungkinkan juara grup atau empat runner-up terbaik lolos.
Hasil pertandingan:
- Indonesia 0-0 Laos: Laga pembuka yang mengecewakan, karena dianggap sebagai laga wajib menang.
- Indonesia 5-0 Makau: Garuda Muda bangkit dan tampil impresif.
- Indonesia 0-1 Korea Selatan: Laga terakhir yang jadi penentu. Gol cepat Korea Selatan di menit keenam membuyarkan mimpi.
Dengan hasil ini, Indonesia hanya mengumpulkan 4 poin. Posisi runner-up grup tidak cukup karena kalah bersaing di klasemen runner-up terbaik. Kegagalan ini membuat Indonesia dipastikan tidak tampil di Piala Asia U-23 2026.
Kegagalan ini langsung memunculkan kritik tajam. Suporter dan pengamat menyebut performa Indonesia menurun drastis dibandingkan era Shin Tae-yong. Banyak yang menyoroti:
- Strategi pelatih: dianggap kurang matang menghadapi laga besar.
- Mental pemain: tidak sekuat saat diasuh Shin, terutama di pertandingan krusial.
- Kurang adaptasi: pergantian pelatih terlalu cepat membuat sistem tim belum terbentuk solid.
Media sosial dipenuhi komentar kecewa. Banyak netizen membandingkan pencapaian Vanenburg dengan Shin Tae-yong yang berhasil membawa Indonesia U-23 ke semifinal Piala Asia.
Meski pahit, kegagalan ini menyimpan pelajaran penting:
- Konsistensi lebih penting daripada kejutan sesaat, Performa apik di satu turnamen tidak boleh membuat terlena. Dibutuhkan rencana jangka panjang agar prestasi stabil.
- Manajemen transisi pelatih, Pergantian pelatih seharusnya direncanakan dengan matang, agar tidak mengganggu sistem permainan dan mental pemain.
- Penguatan kompetisi domestic, Kualitas Timnas U-23 tidak bisa lepas dari kualitas liga domestik. Tanpa pembinaan berjenjang, sulit berharap banyak pada generasi muda.
- Fokus pada aspek mental, Berkali-kali Indonesia tersandung di laga penentu. Ini menunjukkan mental bertanding masih perlu diasah.
Kegagalan ke Olimpiade dan Piala Asia bukan akhir segalanya. Justru dari titik inilah Indonesia bisa bangkit dengan evaluasi yang lebih menyeluruh.
PSSI kini dituntut tidak hanya mencari pelatih yang tepat, tetapi juga membangun peta jalan pembinaan usia muda yang konsisten. Apalagi, dengan semakin banyaknya pemain Indonesia yang berkarier di luar negeri, modal talenta sebenarnya sudah ada.
Jika pembinaan berjalan baik, Timnas U-23 tidak hanya bisa menjadi pesaing di Asia, tetapi juga memberi pondasi kokoh bagi Timnas Senior menghadapi kualifikasi Piala Dunia.
Kisah Timnas U-23 Indonesia dalam dua tahun terakhir menggambarkan perjalanan dari puncak euforia ke jurang kekecewaan. Dari nyaris lolos ke Olimpiade Paris 2024 hingga gagal tampil di Piala Asia U-23 2026, publik diingatkan bahwa sepak bola bukan hanya soal satu-dua pertandingan, melainkan soal konsistensi dan manajemen jangka panjang.
Meski pahit, kegagalan ini bisa menjadi batu loncatan. Jika dievaluasi dengan benar, masa depan Timnas U-23 dan sepak bola Indonesia secara keseluruhan masih sangat cerah.