Kenapa Sawit Bukan Pohon? Ini Alasan Sawit Disebut Penyebab Banjir Sumatera

0
0
Sumber: Bagynews.com

Kelapa sawit adalah komoditas perkebunan yang memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia. Namun, di balik kontribusi ekonomi yang signifikan, tanaman ini juga menuai kontroversi terkait dampaknya terhadap lingkungan. Salah satu perdebatan yang semakin sering muncul adalah klaim bahwa “sawit bukan pohon”, sebuah ungkapan yang sebenarnya merujuk pada sifat biologis tanaman ini yang berbeda dari pohon hutan pada umumnya serta fungsinya yang tidak mampu menggantikan peran ekologis hutan alami. Perdebatan ini menjadi semakin relevan ketika dikaitkan dengan bencana hidrologis seperti banjir besar yang kerap terjadi di berbagai wilayah Sumatera.

Secara ilmiah, kelapa sawit memang bukan tergolong “pohon hutan” karena termasuk tanaman monokotil. Dalam klasifikasi botani, monokotil memiliki ciri-ciri seperti akar serabut dangkal, tidak memiliki kambium yang memungkinkan batang membesar, dan tidak menghasilkan struktur kayu keras. Berbagai sumber akademik, seperti penjelasan FAO mengenai definisi pohon serta publikasi botani Universitas Sumatera Utara, menegaskan bahwa sawit memiliki struktur batang berupa pelepah berserat, bukan kayu solid seperti pohon jati, meranti, atau damar. Itulah sebabnya sawit tidak bisa berfungsi sebagai penahan angin kuat, tidak bisa menahan tanah secara maksimal, serta tidak mampu menyimpan air dengan kapasitas seperti pohon hutan tropis.

Sumber: GAPKI Cabang Sumatera Barat (SUMBAR)

Permasalahan semakin terlihat ketika ekspansi sawit menggantikan hutan alami dalam skala besar. Laporan dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Sumatera telah kehilangan lebih dari separuh tutupan hutannya dalam beberapa dekade terakhir, dan sebagian besar lahan tersebut beralih menjadi perkebunan sawit. WWF serta laporan investigatif Greenpeace juga mengungkap bahwa konversi hutan menjadi kebun monokultur sawit menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, terganggunya fungsi tata air alami, dan meningkatnya potensi bencana banjir serta longsor. Ketika pohon-pohon besar ditebang, akar-akar yang sebelumnya menahan tanah dan menyerap curah hujan tinggi ikut hilang, membuat air hujan mengalir langsung ke permukaan tanpa hambatan.

Akar dangkal sawit rata-rata hanya mencapai kedalaman 0 hingga 60 cm tidak mampu menyerap volume air dalam jumlah besar. Hasil penelitian terkait hidrologi perkebunan sawit yang diterbitkan oleh peneliti-peneliti Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa kebun sawit menyerap air jauh lebih sedikit dibandingkan hutan primer, bahkan hingga 7–9 kali lebih rendah dalam beberapa kondisi tanah. Hal ini membuat air hujan mudah berubah menjadi limpasan permukaan, mempercepat aliran ke sungai dan menyebabkan sungai lebih cepat meluap. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dalam berbagai laporan tahunan juga mencatat bahwa wilayah dengan tingkat deforestasi tinggi sering menjadi lokasi banjir berulang, salah satunya di kawasan yang kini didominasi perkebunan sawit.

Land clearing yang dilakukan untuk membuka lahan sawit turut memperparah situasi. Proses ini biasanya melibatkan pembersihan total vegetasi, termasuk pepohonan yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem. Dalam beberapa kasus, seperti yang ditemukan dalam laporan Greenpeace, pembukaan lahan dilakukan dengan pembakaran, yang tidak hanya merusak struktur tanah tetapi juga menghilangkan humus dan akar-akar alami yang berfungsi sebagai spons penyerapan air. Ketika lahan sudah berubah menjadi kebun sawit monokultur dengan jarak tanam beraturan, ruang di antara barisan tanaman sering kali dibiarkan terbuka, membuat tanah mudah tererosi. Sedimentasi dari erosi ini mengalir ke sungai, membuat sungai menjadi dangkal dan semakin mudah meluap saat hujan besar.

Fenomena ini dapat terlihat jelas pada sejumlah daerah di Sumatera, seperti Aceh Tamiang, Rokan Hulu, Langkat, Muaro Jambi, dan Musirawas Utara, yang kerap mengalami banjir berulang dalam beberapa tahun terakhir. Liputan media lokal dan laporan masyarakat yang dihimpun oleh berbagai organisasi lingkungan menunjukkan pola serupa, setelah hutan dibuka dan sawit masuk, frekuensi banjir meningkat dan skalanya semakin besar. Hal ini juga sejalan dengan data dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang memperlihatkan penurunan tutupan hutan di daerah aliran sungai (DAS) prioritas di Sumatera, sehingga kapasitas penyerapan air alaminya turun drastis.

Sumber: VOA Indonesia

Namun, penting untuk menegaskan bahwa sawit bukanlah musuh. Kelapa sawit adalah komoditas penting bagi ekonomi Indonesia, menyerap lebih dari lima juta tenaga kerja dan memberikan kontribusi ekspor yang signifikan. Masalah muncul terutama ketika pengelolaan perkebunan dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan prinsip-prinsip keberlanjutan. Banyak ahli termasuk peneliti hidrologi dan konservasi dari berbagai universitas mendorong penerapan praktik agroforestry, penanaman pohon penyangga di sekitar kebun, rehabilitasi DAS, dan larangan pembukaan hutan primer sebagai langkah mitigasi bencana.

Konsep seperti buffer zone di tepi sungai, penanaman vegetasi berlapis, serta penerapan kebijakan sawit berkelanjutan sebenarnya sudah masuk dalam beberapa program pemerintah dan standar industri seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Jika diterapkan dengan serius dan konsisten, langkah-langkah ini dapat mengurangi dampak hidrologis negatif dan menjaga agar sawit tetap menjadi komoditas unggulan tanpa mengancam keselamatan masyarakat.

Pada akhirnya, klaim bahwa sawit bukan pohon bukanlah sekadar permainan kata, melainkan penjelasan ilmiah mengenai fungsi ekologis yang tidak bisa menggantikan pohon hutan. Ketika hutan dirusak dan diganti dengan sawit, kapasitas alam untuk menyerap air, menahan tanah, dan mengatur aliran sungai ikut hilang. Dalam kondisi curah hujan ekstrem yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim, kombinasi faktor ini menjadi penyebab utama banjir besar di banyak wilayah Sumatera. Dengan tata kelola yang lebih bijaksana dan berorientasi jangka panjang, dampak ini seharusnya dapat diminimalkan.