Atmos Bandung, Kolaborasi Streetwear Global dan Kreativitas Lokal Kota Kembang

0
0
Sumber: atmos

Bandung tidak pernah kehilangan magnetnya sebagai kota dengan napas kreatif yang kuat. Energi itu terasa di setiap sudutnya di mural jalanan, di butik-butik independen yang menjamur di daerah Riau dan Trunojoyo, hingga di kafe-kafe yang juga berfungsi sebagai ruang pamer karya lokal. Dari era distro legendaris tahun 2000-an seperti UNKL347 dan Ouval Research yang menandai lahirnya gerakan streetwear independen Indonesia, hingga munculnya brand baru dengan pendekatan lebih artistik seperti Public Culture, Pot Meets Pop, dan Oldblue, Bandung selalu punya cara sendiri dalam menafsirkan gaya hidup urban: lebih eksperimental, lebih personal, dan tetap membumi.

Jalan Braga, Cihampelas, hingga kawasan Dago bukan sekadar pusat belanja mereka adalah ruang sosial di mana gaya, musik, dan identitas saling berbaur. Di sinilah tren sering lahir lebih cepat daripada Jakarta, dengan cara yang lebih organik. Tak jarang, ide dari komunitas Bandung justru menjadi referensi nasional: dari gaya berpakaian, arah desain grafis, hingga pola kolaborasi lintas disiplin antara fashion, musik, dan seni visual.

Maka, ketika atmos, label streetwear dan sneaker premium asal Harajuku, Tokyo, resmi membuka flagship store-nya di Bandung, momen ini terasa seperti pertemuan dua arus kreatif yang sejajar. Harajuku dengan kultur eksperimental dan energi muda yang eksplosif; Bandung dengan karakter yang santai namun penuh daya cipta. Hadirnya atmos bukan sekadar ekspansi bisnis, melainkan simbol persilangan budaya antara global dan lokal antara Tokyo dan Bandung, dua kota yang sama-sama hidup dari semangat “berani berbeda”.

Lebih jauh lagi, atmos Bandung menjadi representasi bahwa skena streetwear Indonesia telah berkembang matang. Bukan lagi sekadar tren, tapi bagian dari narasi budaya yang menggabungkan identitas, gaya, dan komunitas. Dengan kehadiran flagship store ini, Bandung tidak hanya menjadi tuan rumah bagi brand global, tapi juga pemain aktif dalam percakapan street culture dunia.

Melihat dinamika Bandung sebagai salah satu episentrum sneakers culture terbesar di Indonesia, langkah atmos untuk membuka flagship store di kota ini terasa seperti keputusan yang alami sekaligus strategis. Selama lebih dari dua dekade terakhir, Bandung telah membuktikan dirinya bukan hanya sebagai kota mode, tetapi juga sebagai laboratorium kreatif tempat ide dan gaya hidup urban terus berevolusi. Energi muda yang tidak pernah padam, komunitas yang solid, dan semangat kolektif yang kuat menjadikan kota ini ekosistem yang sempurna bagi brand dengan DNA budaya seperti atmos.

Sumber: atmos

Momentum itu kemudian diwujudkan pada Sabtu, 4 Oktober 2025, ketika atmos resmi membuka flagship store terbarunya di 23 Paskal Bandung. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan 23 Paskal dikenal sebagai salah satu pusat gaya hidup paling modern di Bandung, tempat bertemunya generasi muda, komunitas kreatif, dan pecinta fashion dalam satu ruang urban yang dinamis. Bagi atmos, kehadiran di kawasan ini menandai babak baru dalam upaya mereka menghadirkan pengalaman berbelanja yang lebih dari sekadar transaksi sebuah pengalaman yang hangat, inklusif, dan sarat cerita.

Menurut Herlina Winardo, Brand Manager atmos Indonesia, Bandung memiliki posisi yang sangat istimewa dalam peta perkembangan budaya sneakers nasional. Ia menjelaskan bahwa kota ini bukan hanya pasar potensial, melainkan jantung dari sebuah gerakan budaya yang terus tumbuh secara organik.

“Bandung memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan budaya sneakers di Indonesia”, ujar Herlina. “Kota ini dikenal sebagai salah satu pusat kreativitas dan gaya hidup anak muda yang kuat, di mana budaya streetwear dan sneakers tumbuh secara alami sejak lama. Komunitasnya solid, aktif, dan memiliki apresiasi tinggi terhadap fashion serta nilai kolektibilitas sneakers”.

Lebih jauh, Herlina menekankan bahwa Bandung memiliki sejarah panjang dalam industri kreatif mulai dari brand fashion independen, kultur distro, hingga pergerakan desain dan musik yang membentuk identitas khas kota ini. Ekosistem kreatif yang lahir dari bawah, digerakkan oleh komunitas dan passion, menciptakan lingkungan yang sangat ideal untuk brand seperti atmos yang menjunjung nilai orisinalitas dan kolaborasi.

Dengan hadirnya flagship store ini, atmos tidak hanya memperluas jaringan ritel globalnya, tetapi juga ingin menegaskan komitmen untuk menjadi bagian dari narasi kreatif lokal. Bandung bukan sekadar pasar, melainkan panggung hidup bagi pertukaran gagasan dan ekspresi gaya. Bagi atmos, langkah ini bukan hanya soal ekspansi bisnis, tapi juga tentang membangun koneksi emosional dengan kultur yang telah lebih dulu tumbuh di kota ini.

Atmos bukanlah nama baru di dunia streetwear global. Didirikan di kawasan Ura-Harajuku, Tokyo, pada tahun 2000 oleh Hidefumi Hommyo, atmos bermula dari sebuah butik kecil yang menjual sneakers pilihan dengan pendekatan kuratorial. Harajuku sendiri saat itu sedang menjadi pusat revolusi gaya muda Jepang tempat di mana street fashion, musik, dan seni visual berpadu dalam satu napas kebebasan berekspresi. Di tengah kultur itu, atmos hadir bukan hanya sebagai toko, melainkan sebagai ruang hidup yang mencerminkan kepribadian kota tersebut: berani, penuh warna, dan tak terikat pada arus utama.

Nama “atmos” diambil dari kata atmosphere sebuah metafora yang mencerminkan ambisi sang pendiri untuk menciptakan suasana, bukan sekadar menjual produk. Filosofi itu terasa dalam setiap aspek identitas mereka: dari cara menata ruang toko hingga pemilihan sneakers yang dikurasi seperti karya seni. Di Harajuku, pelanggan datang bukan sekadar untuk belanja, tapi untuk mengalami atmosfer itu melihat, menyentuh, dan berbincang tentang gaya hidup yang mereka cintai.

Dalam dua dekade terakhir, atmos menjelma menjadi ikon global yang tak terpisahkan dari kultur sneaker modern. Kolaborasi eksklusif mereka dengan Nike, Asics, Puma, dan Adidas melahirkan rilisan legendaris seperti Nike Air Max 1 “Safari” (2002) dan Air Max 1 “Elephant” (2007) dua desain yang kini berstatus grail di kalangan kolektor sneaker dunia. Di banyak kota, rilis terbaru atmos kerap menjadi momen antrian panjang, simbol dari antusiasme komunitas yang tersebar lintas negara.

Namun di balik semua hype itu, atmos tetap mempertahankan nilai dasarnya: community and creativity first. Hommyo pernah mengatakan bahwa yang membuat atmos istimewa bukanlah produk yang mereka jual, melainkan cerita dan koneksi yang tercipta di baliknya. Prinsip itulah yang mereka bawa ke setiap flagship store di luar Jepang termasuk ke Bandung, yang dipilih bukan hanya karena potensinya sebagai pasar, tapi karena karakternya yang selaras: kota muda, penuh ide, dan memiliki kultur gaya yang otentik.

Sumber: atmos

Kehadiran atmos di Bandung jadi bukti bahwa streetwear bukan lagi milik pusat-pusat mode besar seperti Tokyo atau New York saja. Ia kini menjadi bahasa global, dan Bandung berbicara dalam dialeknya sendiri dengan warna lokal, semangat komunitas, dan rasa ingin tahu yang tak pernah padam.

Saat melangkah masuk ke dalam flagship store atmos Bandung, kesan pertama yang muncul bukan sekadar “toko sepatu”. Ruang ini terasa seperti galeri seni yang hidup terkurasi dengan presisi khas Jepang, namun dihangatkan oleh energi lokal yang khas Bandung. Pencahayaan lembut, dinding beton ekspos, hingga deretan sneakers yang ditata secara vertikal di sepanjang dinding menciptakan pengalaman visual yang hampir meditasi. Setiap langkah membawa pandangan baru, setiap sudut menampilkan cerita tentang gaya dan budaya.

Di tengah atmosfer modern itu, Bandung tetap bicara dengan caranya sendiri. Interior toko memadukan sentuhan arsitektur kontemporer dengan detail khas lokal: warna-warna hangat, tekstur kayu, serta elemen desain yang terinspirasi dari pola dan bentuk arsitektur tropis. Hasilnya adalah ruang yang tidak hanya nyaman, tetapi juga terasa akrab sebuah pertemuan estetika Tokyo dan Bandung yang berjalan mulus tanpa kehilangan karakter masing-masing.

Lebih dari sekadar ruang ritel, atmos Bandung dibangun dengan semangat kolaborasi. Dalam kampanye peluncurannya, atmos menggandeng empat figur kreatif yang menjadi wajah dari Bandung itu sendiri: Dendy Darman, Arin Sunaryo, Rekti Yoewono, dan Syagini Ratna Wulan. Keempatnya bukan hanya nama besar di bidang masing-masing, tapi juga representasi nyata dari semangat Bandung independen, eksperimental, dan penuh semangat gotong royong kreatif.

Dendy Darman, pendiri UNKL347, adalah simbol perintis kultur distro di Indonesia. Ia membawa semangat do-it-yourself dan kemandirian kreatif yang menjadi DNA Bandung sejak awal 2000-an. Arin Sunaryo, seorang seniman visual, membawa pendekatan kontemporer dengan gaya abstrak dan reflektif menunjukkan bagaimana seni visual Bandung tumbuh selaras dengan kultur desain dan musik. Rekti Yoewono, vokalis The SIGIT, menghadirkan energi rock ’n’ roll khas Bandung: keras, jujur, tapi tetap stylish. Syagini Ratna Wulan, seniman konseptual, memberi sentuhan intelektual pada kolaborasi ini menghubungkan dimensi seni rupa dengan dinamika sosial kota.

Keterlibatan keempat figur ini bukan sekadar strategi pemasaran; ia adalah pernyataan bahwa atmos Bandung hadir untuk berakar di tanah yang subur secara budaya. Mereka tidak datang untuk “mengambil ruang”, tetapi untuk “membaur dan mencipta” bersama komunitas lokal yang telah lebih dulu tumbuh.

Dalam wawancara dengan Mother & Beyond, perwakilan atmos Indonesia menjelaskan bahwa kolaborasi ini adalah bentuk penghormatan terhadap kultur Bandung. “Kami percaya bahwa streetwear bukan hanya tentang fashion, tapi tentang ekspresi budaya. Dan tidak ada tempat yang lebih ideal untuk mengekspresikannya selain Bandung, kota yang selalu hidup dari ide dan kebebasan berekspresi”.

Desain ruang dan narasi kampanye peluncuran atmos Bandung juga menegaskan pesan tersebut. Tidak ada kemewahan berlebihan atau nuansa eksklusivitas yang berjarak sebaliknya, toko ini terasa terbuka, ramah, dan inklusif. Suasana yang “vibrant” pada saat grand opening menggambarkan hal itu: musik lokal mengalun, komunitas sneakers datang silih berganti, dan atmosfer terasa seperti reuni besar para pecinta gaya jalanan.

Sumber: Hypebeast

Lebih jauh, atmos Bandung juga memposisikan diri sebagai ruang kolaboratif jangka panjang. Selain menjual sneakers dan apparel, rencananya toko ini akan menjadi tuan rumah bagi berbagai kegiatan kreatif: mulai dari product drop events, pameran seni mini, creative talk sessions, hingga kolaborasi eksklusif dengan brand lokal. Langkah ini menjadi refleksi filosofi atmos sejak awal menjadikan ruang ritel sebagai ekosistem budaya yang hidup, bukan sekadar tempat transaksi.

Di banyak kota besar seperti Tokyo, Seoul, dan Bangkok, konsep ini telah terbukti berhasil menciptakan komunitas yang loyal dan aktif. Kini, Bandung siap menjadi bagian dari jaringan global itu dengan cita rasa lokal yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Secara budaya, Bandung dan Harajuku punya kesamaan mendasar: keduanya hidup dari kreativitas muda dan semangat eksperimental.

Harajuku dikenal karena gaya jalanannya yang berani dan tak kenal aturan; sedangkan Bandung dikenal karena semangat do-it-yourself yang melahirkan scene distro, clothing, dan musik independen. Keduanya tumbuh bukan karena kapital besar, tapi karena komunitas orang-orang yang berkumpul, berbagi ide, dan menjadikan gaya hidup sebagai pernyataan budaya.

Atmos menangkap semangat itu. Di Bandung, mereka tidak datang sebagai “brand besar dari luar negeri” tapi hadir untuk bermain di lapangan yang sama dengan kreator lokal. Dalam konteks ini, atmos Bandung bisa dibilang menjadi jembatan antara dua dunia street culture.

Dari kacamata kultur global, langkah atmos ke Bandung adalah sinyal kuat bahwa Indonesia semakin diperhitungkan dalam peta streetwear dunia. Jakarta sudah lebih dulu menjadi panggung bagi brand internasional, tapi Bandung punya sesuatu yang tidak bisa ditiru: authenticity.

Bandung selalu memadukan estetika global dengan pendekatan lokal sesuatu yang oleh banyak pengamat disebut sebagai “Indonesian streetwear DNA”. Atmos membaca potensi itu. Dan dengan hadirnya gerai ini, mereka ikut menulis bab baru dalam sejarah street culture Asia Tenggara.

Atmos Bandung bukan sekadar pembukaan toko baru ia adalah cultural statement.
Ia menandai bagaimana brand global kini memahami bahwa pasar lokal Indonesia tidak lagi sekadar konsumen, tapi bagian dari percakapan global. Dari ruang kuratorialnya, kolaborasi dengan kreator lokal, hingga semangat komunitas yang diusung, atmos Bandung membuktikan bahwa streetwear telah menjadi bahasa lintas kota dan lintas generasi.

Di masa depan, kita mungkin akan melihat lebih banyak kolaborasi lintas kota Bandung-Tokyo, Bandung-Seoul, atau bahkan Bandung-New York. Tapi apapun bentuknya nanti, satu hal sudah pasti: Bandung akan selalu punya tempat istimewa di peta street culture dunia.