Pada tanggal 2 Desember 2025, Indonesia resmi menerima sertifikat Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dari UNESCO. Dokumen prestisius ini diserahkan langsung kepada Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia sebagai pengakuan internasional atas tiga unsur budaya nasional yang telah lolos penetapan Kolintang, Kebaya, dan Reog Ponorogo.
Momen ini bukan hanya sekadar seremoni formal, tetapi menjadi pilar bersejarah dalam perjalanan diplomasi budaya Indonesia. Penetapan tersebut menegaskan bahwa ketiga warisan budaya ini memiliki nilai universal yang diakui dunia mulai dari estetika, filosofi, hingga tradisi turun-temurun yang masih dijaga oleh komunitasnya.
Lebih dari itu, pengakuan UNESCO membawa pesan penting bahwa tanggung jawab melestarikan budaya tidak berhenti pada pengakuan, tetapi justru semakin besar. Indonesia kini ditantang untuk memastikan regenerasi pelaku budaya, memperkuat ekosistem pelestarian, serta mengembangkan budaya ini agar tetap relevan sebagai bagian dari identitas nasional dan kebanggaan kolektif bangsa.
Proses penetapan Kolintang, Kebaya, dan Reog sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO berawal pada tahun 2024 ketika pemerintah Indonesia, melalui Kemenko PMK bersama Kementerian Kebudayaan, resmi mengajukan ketiga unsur budaya tersebut untuk dinominasikan. Mengikuti pedoman UNESCO, setiap warisan harus memenuhi sejumlah kriteria penting mulai dari memiliki nilai luar biasa, diwariskan secara turun-temurun, hingga ditopang oleh komunitas yang aktif menjaga kelangsungannya. Setelah melalui serangkaian evaluasi dan penilaian, ketiga unsur budaya tersebut akhirnya dinyatakan memenuhi syarat.
Puncaknya, pada 2 Desember 2025, sertifikat resmi diserahkan kepada Indonesia dalam sebuah seremoni di Museum Nasional Republik Indonesia (Museum Gajah), Jakarta. Dengan penetapan ini, Kolintang, Kebaya, dan Reog kini secara resmi diakui dunia sebagai bagian dari warisan budaya global yang memiliki nilai penting bagi umat manusia.

Kolintang, alat musik tradisional khas Minahasa di Sulawesi Utara, menjadi salah satu unsur budaya yang memperoleh pengakuan UNESCO melalui kategori nominasi “extended multinational”, yakni pengajuan lintas negara yang juga melibatkan beberapa negara Afrika dalam usulan warisan alat musik tradisional. Pengakuan ini memperkuat posisi Kolintang sebagai representasi penting musik tradisional Indonesia di panggung internasional. Lebih dari itu, status sebagai Warisan Budaya Takbenda mendorong regenerasi pemain Kolintang, memperkuat ekosistem pelestarian musik tradisi, dan membuka ruang kreativitas baru, baik melalui kolaborasi dengan musik modern maupun pengintegrasian Kolintang dalam pendidikan seni. Dengan penetapan ini, Kolintang tak lagi dipandang sebagai warisan lokal semata, tetapi telah menjadi bagian dari khazanah budaya universal yang memiliki nilai penting bagi masyarakat dunia.
Kebaya resmi tercatat dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO pada 4 Desember 2024 melalui sebuah nominasi bersama (joint nomination) yang melibatkan beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Penetapan ini menegaskan posisi Kebaya sebagai simbol femininitas, identitas budaya, serta warisan mode tradisional yang telah lama hidup dan berkembang di kawasan. Pengakuan tersebut tidak hanya menempatkan Kebaya sebagai pakaian adat, tetapi sebagai bagian dari budaya hidup yang terus diwariskan, dipraktikkan, dan diadaptasi oleh berbagai generasi. Selain itu, status UNESCO juga membuka peluang besar bagi revitalisasi industri berbasis tradisi mulai dari desain, tekstil, hingga kerajinan serta mendorong pengembangan ekonomi kreatif dan pendidikan budaya. Dengan demikian, pengakuan UNESCO mempertegas bahwa Kebaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan elemen penting dari identitas nasional dan regional yang tetap relevan hingga hari ini.
Reog Ponorogo, seni pertunjukan tradisional yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO pada 3 Desember 2024. Berbeda dengan Kolintang dan Kebaya, Reog masuk dalam kategori “In Need of Urgent Safeguarding”, yang berarti memerlukan perlindungan mendesak. Status ini menunjukkan adanya kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan tradisi, mulai dari kurangnya regenerasi penari, melemahnya komunitas pendukung, hingga potensi hilangnya nilai-nilai autentik apabila tidak segera dilakukan upaya pelestarian yang komprehensif. Oleh karena itu, pemerintah bersama komunitas budaya diharapkan terlibat aktif dalam berbagai langkah penyelamatan, seperti memperkuat pendidikan budaya, menyediakan dukungan kebijakan, serta mendorong pengembangan ekonomi kreatif berbasis Reog. Penetapan UNESCO ini sekaligus mempertegas bahwa Reog bukan hanya kesenian lokal, melainkan bagian dari warisan budaya dunia yang perlu dijaga, dihargai, dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Momen penyerahan sertifikat UNESCO pada 2 Desember 2025 menjadi puncak dari perjalanan panjang proses nominasi yang dimulai bertahun-tahun sebelumnya. Acara tersebut digelar di Museum Nasional Jakarta dalam sebuah seremoni resmi yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri, serta delegasi dari daerah asal masing-masing warisan budaya, termasuk Ponorogo. Dalam pidato resminya, para pejabat kementerian menegaskan bahwa pengakuan ini harus menjadi dorongan bagi seluruh elemen bangsa untuk terus menjaga, melestarikan, dan mengembangkan budaya yang telah diakui dunia ini.
Mereka berharap Kolintang, Kebaya, dan Reog tidak hanya dipertahankan sebagai tradisi, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai sumber kreativitas, edukasi, hingga peluang ekonomi bagi masyarakat. Pemerintah juga menekankan pentingnya kolaborasi berkelanjutan antara komunitas budaya, lembaga pemerintah, dan generasi muda agar ketiga warisan tersebut tetap hidup, relevan, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Lebih dari sekadar seremoni, penyerahan sertifikat ini menjadi simbol kebanggaan nasional sekaligus pengingat bahwa tanggung jawab menjaga warisan leluhur kini berada di tangan kita semua agar budaya Indonesia tidak hilang, tetapi terus bersinar di panggung dunia.

Pengakuan UNESCO terhadap Kolintang, Kebaya, dan Reog Ponorogo menjadi tonggak penting yang menegaskan besarnya kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Status sebagai Warisan Budaya Takbenda bukan sekadar prestasi di kancah global, tetapi juga pengingat bahwa budaya-budaya ini memiliki nilai yang layak dijaga, dihormati, dan diwariskan. Meski demikian, pencapaian ini bukan garis akhir; justru inilah titik awal dari tanggung jawab yang lebih besar memastikan pelestarian yang berkelanjutan, mendorong regenerasi pelaku budaya, serta memanfaatkan warisan ini secara bijaksana untuk pendidikan, kreativitas, hingga kesejahteraan masyarakat.
Masa depan warisan budaya kita bergantung pada langkah-langkah yang diambil hari ini. Apakah tradisi itu akan tetap hidup, relevan, dan dicintai generasi mendatang sangat ditentukan oleh komitmen kita bersama. Melalui kolaborasi erat antara pemerintah, komunitas budaya, akademisi, pelaku kreatif, hingga generasi muda, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjaga tradisi tanpa memutus hubungan dengan akar sejarahnya. Dengan cara itulah budaya Indonesia dapat terus tumbuh, beradaptasi, dan bersinar tetap autentik namun mampu mengikuti zaman, menjadi sumber identitas sekaligus inspirasi bagi dunia.





![Cerita di Balik Syuting Petualangan Sherina 2! [NGOBROL BARENG] Cerita di Balik Syuting Petualangan Sherina 2! [NGOBROL BARENG]](https://iswaranetwork.com/wp-content/uploads/2023/10/Cerita-di-Balik-Syuting-Petualangan-Sherina-2-NGOBROL-BARENG-180x135.webp)











