“Di Ujung Minggu”, Lagu Terbaru Mesa Hira yang Menyimpan Memoar Puitis untuk Ayah

0
0
Sumber: Instagram/meisya.syahirah

Rilisan terbaru Mesa Hira, “Di Ujung Minggu”, tampil sebagai salah satu karya paling emosional dan jujur dari musisi yang selama ini dikenal lewat lirik-lirik intim, lembut, dan kaya nuansa puitis. Jika pada karya sebelumnya Mesa lebih banyak mengeksplorasi tema cinta, kontemplasi diri, dan proses pendewasaan, maka single ini memperlihatkan sisi dirinya yang jarang ia tampilkan ke publik cerita personal tentang sosok ayah dan kenangan keluarga yang mengiringi masa kecilnya.

Mengubah pengalaman pribadi menjadi karya musik yang utuh bukanlah proses sederhana. Banyak musisi memilih untuk menjaga jarak dari cerita yang terlalu dekat dengan kehidupan mereka. Namun melalui “Di Ujung Minggu”, Mesa justru menembus batas itu. Ia mengolah memorinya menjadi rangkaian melodi yang lembut, menjadikan lagu ini semacam ruang sunyi tempat ia dapat membuka kembali arsip kenangan yang selama ini disimpan rapat.

Di balik setiap bait, Mesa menyusun fragmen-fragmen waktu yang dulu terasa sepele tapi kini berarti momen singkat dengan ayahnya di akhir pekan, percakapan yang tak selesai, serta kehadiran yang lebih banyak dirasakan daripada diucapkan. Lagu ini pada akhirnya menghadirkan sebuah potret hubungan ayah dan anak yang sering kali penuh jarak, penuh jeda, namun tetap dipenuhi kasih sayang yang tidak selalu disampaikan lewat kata-kata. Melalui “Di Ujung Minggu”, Mesa Hira berhasil menghadirkan memoar puitis yang tidak hanya bercerita tentang masa lalunya sendiri, tetapi juga menghidupkan kembali perasaan universal tentang keluarga, waktu yang berlalu begitu cepat, dan upaya memahami ulang hubungan yang membentuk diri kita hari ini.

Sumber: Instagram/meisya.syahirah

Mesa Hira selama ini dikenal sebagai musisi yang mampu menyampaikan ketulusan melalui setiap lirik yang ia tulis. Dalam “Di Ujung Minggu”, ia kembali menggali sumber inspirasinya yang paling personal hal-hal yang tumbuh dari pengalaman hidupnya sendiri. Dalam sejumlah wawancara di masa lalu, Mesa pernah menyebut bahwa sebagian besar karyanya “lahir dari percakapan-percakapan yang belum selesai”. Gagasan tersebut tampak jelas pada single terbarunya. Lagu ini berakar dari kebiasaan sederhana di masa kecil, ketika ia dan ayahnya hanya bisa menghabiskan waktu bersama di akhir pekan karena rutinitas pekerjaan sang ayah.

Momen-momen itu mungkin tidak istimewa bagi orang lain sarapan bersama, berjalan santai di pagi hari, atau duduk berdua di teras sambil berbincang ringan. Namun bagi Mesa kecil, saat-saat tersebut menjadi tempat ia merasa paling dekat dengan ayahnya, sosok yang jarang ada di rumah. Ketika kini ia telah dewasa, kenangan itu kembali muncul, menjelma menjadi rangkaian nada. “Di Ujung Minggu” bukan sekadar cerita tentang kerinduan atau jarak emosional, tetapi juga ungkapan syukur, refleksi, dan kesadaran bahwa hubungan ayah dan anak sering dibangun dari hal-hal kecil yang baru kita pahami nilainya setelah melewati waktu.

Lirik dalam “Di Ujung Minggu” menghadirkan rangkaian memori yang dituturkan dengan sentuhan lembut, namun menyimpan pukulan emosional yang kuat. Melalui kata-kata sederhana dan pilihan metafora yang halus, Mesa Hira membawa pendengar kembali ke momen-momen kecil yang membentuk hidupnya. Lagu ini memuat berbagai lapisan emosi, mulai dari nostalgia masa kecil, ingatan tentang kehangatan sederhana bersama ayahnya, hingga kesadaran bahwa waktu telah berlalu begitu cepat dan banyak hal yang dulu terasa biasa ternyata menyimpan arti mendalam.

Di dalamnya juga tersirat kerinduan terhadap percakapan yang tidak sempat terucap. Ada keinginan untuk kembali ke masa itu bukan untuk mengulangnya, tetapi untuk memahami apa yang dulu terlewat. “Di Ujung Minggu” pada dasarnya tidak hanya menyoroti kerinduan, melainkan menghadirkan refleksi mendalam tentang bagaimana hubungan ayah dan anak sering dipenuhi jarak emosional yang baru benar-benar disadari setelah seseorang dewasa.

Dalam beberapa bait, Mesa menggambarkan figur ayah sebagai sosok yang tidak banyak bicara, seseorang yang menunjukkan rasa sayang melalui tindakan kecil, kehadiran, perhatian diam-diam, atau rutinitas yang tidak pernah berubah. Cara penggambaran ini terasa sangat dekat dengan realitas banyak keluarga di Indonesia, di mana kasih sayang ayah kerap hadir dalam bentuk nonverbal. Hal ini membuat lagu tersebut terasa relevan bagi pendengar, seolah mereka melihat potongan hidup mereka sendiri di dalamnya.

Sumber: Instagram/meisya.syahirah

Jika dirangkum secara puitis, “Di Ujung Minggu” dapat dibaca sebagai sebuah surat yang baru ditulis ketika waktu sudah berjalan jauh, rindu lama yang akhirnya menemukan tempat untuk bersuara, dan ruang percakapan yang tak pernah tercipta, tetapi selalu diharapkan terjadi. Kekuatan lagu ini terletak pada kemampuannya menangkap perasaan universal tentang keluarga. Meski cerita Mesa sangat personal, banyak pendengar dapat melihat diri mereka di dalam setiap baitnya karena pada akhirnya, hubungan antara orang tua dan anak selalu dibangun oleh fragmen kecil yang hanya bisa dimaknai ketika kita menengok kembali ke masa lalu.

Mesa Hira dikenal sering menulis ide lagu dalam bentuk catatan harian atau fragmen kalimat. Proses kreatif “Di Ujung Minggu” juga berangkat dari tulisan-tulisan pendek yang awalnya ia simpan tanpa niat untuk dijadikan lagu. Inspirasi utamanya muncul ketika Mesa mendapati foto lama dirinya bersama sang ayah. Momen kecil ini mendorongnya untuk menuliskan kembali kenangan masa kecil yang mulai kabur. Seiring berjalannya waktu, catatan tersebut tumbuh menjadi puisi, lalu berkembang menjadi lirik.

Di studio, Mesa bekerja sama dengan produser yang memahami arah emosional lagu ini. Instrumen yang dipilih sangat minimalis piano lembut, dentingan gitar akustik, dan string tipis yang muncul di bagian akhir. Semua itu dilakukan dengan prinsip biarkan lirik menjadi pusat, biarkan emosi menjadi suara utama. Hasil akhirnya adalah lagu yang terdengar jujur dan dekat, seolah-olah pendengar sedang membaca halaman diary yang diceritakan lewat nada.

Komposisi dan produksi musik “Di Ujung Minggu” dirancang dengan pendekatan akustik-modern yang sederhana namun sarat kehangatan, menciptakan suasana nostalgia yang kuat sejak awal lagu diputar. Piano menjadi pondasi utama, hadir dengan permainan yang lembut dan tidak berlebihan sehingga memberi ruang bagi vokal Mesa untuk menyampaikan cerita dengan jelas. Di sisi lain, petikan gitar akustik yang perlahan menambah kesan intim, seolah pendengar sedang berada di ruangan yang sama saat lagu itu dinyanyikan. Mesa juga memilih untuk menampilkan vokalnya secara natural tanpa teknik berlebihan, hanya suara yang jujur, sedikit bergetar, dan penuh ketulusan, membuat emosi lagu terasa semakin nyata. Di bagian akhir, lapisan string tipis muncul sebagai penanda puncak emosional, menambah kedalaman tanpa mengalihkan fokus dari vokal. Secara keseluruhan, produksi lagu ini menghadirkan nuansa hangat yang mengingatkan pada cahaya sore hari, sederhana, menenangkan, dan penuh kenangan.

Sumber: Instagram/meisya.syahirah

Video musik “Di Ujung Minggu” dibuat untuk menangkap esensi cerita dalam lagu, sebuah perjalanan batin seorang anak yang kembali mengenang sosok ayahnya. Tanpa menggunakan efek visual yang berlebihan, video ini menampilkan gambaran sederhana namun sarat makna seperti rumah masa kecil, suasana akhir pekan yang damai, kebiasaan kecil yang dilakukan bersama orang tua, hingga rasa hangat saat akhirnya kembali pulang setelah lama pergi. Palet warna yang digunakan cenderung hangat, didominasi coklat dan kuning keemasan untuk memperkuat nuansa nostalgia. Gerakan visualnya pun tidak tergesa-gesa; adegan-adegan statis dan slow motion sengaja dipilih agar penonton dapat meresapi setiap detail dan larut dalam emosi yang dihadirkan, sejalan dengan atmosfer lembut dari lagunya.

“Di Ujung Minggu” bukan sekadar rilisan terbaru dari Mesa Hira; lagu ini berfungsi sebagai catatan hati, sebuah memoar yang dituliskan dalam bentuk melodi tentang hubungan seorang anak dengan ayahnya. Melalui lirik yang penuh perasaan, aransemen musik yang hangat, serta visual yang dirancang untuk memperkuat kisahnya, Mesa berhasil menghadirkan karya yang terasa sangat personal sekaligus matang secara artistik. Single ini memperlihatkan keberaniannya membuka lapisan terdalam kehidupannya, menjadikannya salah satu karya paling berkesan dalam perjalanan musiknya.

Bagi pendengar yang pernah merasakan rindu kepada ayah, atau sedang mencoba memahami kembali dinamika keluarga yang rumit dan penuh diam, “Di Ujung Minggu” hadir sebagai teman sunyi. Lagu ini memberikan kenyamanan dalam bentuk suara seperti pelukan lembut yang tidak diucapkan dengan kata-kata, tetapi terasa hangat melalui setiap notanya.